Opini

Adilkah Pidana Bagi Penerima Politik Uang?

Praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah nyari tak pernah sepi dari perbincangan dan seolah menjadi rahasia umum. Hampir di setiap perhelatan ritual 5 tahunan itu, praktik politik uang marak terjadi. Ditengarai, maraknya praktik ini karena ada asas saling membutuhkan antara kontenstan pemilihan kepala daerah, yakni pasanan calon gubernur-wakil gubernur, atau calon bupati-wakil bupati, atau calon walikota dan wakil walikota, dengan pemilih atau konstituen.

Para pasangan calon membutuhkan suara, pemilih membutuhkan materi sebagai ‘alat tukar’ suara mereka. Praktik ini tentu tak hanya menciderai demokrasi dalam pemilihan kepala daerah, tapi juga telah menciptakan pola kejahatan baru yang dapat disebut sebagai kejahatan demokrasi, karena efek negatif yang timbul dari praktik politik uang adalah potensi munculnya kebijakan koruptif yang dibuat para kepala daerah terpilih yang menggunakan politik uang sebagai salah satu cara pemenangannya pada saat kontestasi pilkada.

Jika mencermati aspek pencegahannya, institusi terkait yang berwenang melakukan pencegahan dan penindakan pelanggaran politik uang dalam pilkada, tampak berupaya setengah mati mengingatkan masyarakat sekaligus para kontenstan untuk menjauhi praktik politik uang. Namun, praktiknya, politik uang selalu saja bertebaran.

Lihat juga JRDP Ajak Masyarakat Tolak Politik Uang dan Lawan Ketidaknetralan Aparat di Pilkada 2024

Menyoroti regulasi pemilihan kepala daerah, di awal-awal pelaksanaannya, saat itu masih menggunakan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, para pembentuk undang-undang sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya praktik politik uang dengan menuangkan ancaman pidana bagi pelaku politik uang dalam pasal 117 ayat  (2)  Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Ancaman pidana dalam pasal ini hanya menjadikan si pemberi sebagai onjek hukumannya, sedangkan penerima sama sekali tidak ada ancamannya. Di sisi lain, praktik politik uang menyasar kalanan pemilih yang status pendidikan dan pendapatannya menengah ke bawah (miskin) yang cenderung menerima pemberian tersebut, meskipun nominalnya tak seberapa. Meski ancaman hukuman pidana telah ada, namun karena dirasakan ‘permintaan’ masih ada maka ‘penawaran’ pantang surut, sehingga praktik politik uang tetap berlanjut.

Politik hukum dalam regulasi pemilihan kepala daerah tentu saja didasarkan pada keinginan terciptanya rasa keadilan di antara sesama kontestan, agar tidak ada kontestan pilkada yang melakukan praktik curang. Politik hukum bertujuan untuk menjamin tercipatanya keadilan dan ketentraman hidup, dalam masyarakat dengan memilihara kepastian hukum. 

Bisa jadi, berdasarakan pemikiran inilah maka dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, para pembentuk undang-undang ahirnya mencantumkan ancaman pidana bagi si penerima politik uang, seperti tertuang dalam pasal 187A, ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan  atau  memberikan  uang  atau  materi  lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana  dengan  pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan  denda  paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)  dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan ayat (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pertanyaannya kemudian, adilkah hukum ini bagi masyarakat yang menerima hanya tak seberapa namun diancam hukuman hingga minimum 36 bulan dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000? Padahal dari sejumlah fakta, pemilih yang menerima uang hanya Rp 10.000 atau yang menerima materi lainnya yang jika dikonversi ke dalam rupiah juga nilainya tak jauh dari angka Rp 20.000. Bagaimana sesungguhnya undang-undang dibuat dan diberlakukan? Lalu, adilkah hukuman yang diterapkan untuk penerima politik uang?

Sanksi pidana dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, khususnya terkait praktik politik uang, selain menjerat pemberi juga mengatur ancaman pidana bagi penerimanya. Sebagai sebuah produk politik, undang-undang ini menjadi produk hukum yang norma-normanya menjadi keharusan bagi masyarakat untuk ditaati dengan harapan dapat menghadirkan keadilan dalam konstestasi Pilkada secara keseluruhan di Indonesia. Sebagai sebuah hukum positif yang berlaku, menurut Lon Fuller, dia wajib memenuhi delapan syarat yakni;

  1. Adanya aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan memerlukan sifat persyaratan dan sifat keumuman. Artinya, memberikan bentuk hukum kepada otoritas berarti kpeutusan-keputusa otoritatif tidak dibuat atas dasar ad hoc, dan atas dasar kebijakan yang bebas, tetapi atas dasar aturan-aturan umum
  2. Aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan, tetapi diumumkan
  3. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan pad akemudian hari, Artinya hukum harus berlaku pasang.
  4. Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat.
  5. Aturan-aturan tidak boleh saling bertentangan antara satu dengan lainnya
  6. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku di luar kemampuan pihdak-pihak yang terkena, artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan
  7. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah sewaktu-waktu
  8. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan kenyataan dalam pelaksanaannya

Prinsip-prinsip yang harus dijadikan pijakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah:

  1. Segala jenis peraturan perundangan-undangan merupakan satu kesatuan sistem yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945. Oleh sebab itu, tata aturan, keseuaian isi antar-berbagai peraturan perundang-undangan tidak boleh diabaikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
  2. Tidak semua aspek kehidupan masyarakat dan bernegara harus diatur dengan peraturan perundang-undangan. Berbagai tatanan yang hidup dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan cita hukum, dengan azas yang terkandung dalam Pancasila dan UUD dapat dibiarkan dan diakui sebagai subsistem hukum nasional sehingga mempunyai kekuatan  hukum seperti peraturan perundang-undangan
  3. Pembentukan perundang-undangan selain mempunyai dasar yuridis harus mempertimbangkan dengan seksama dasar-dasar filosofis, dan kemasyarakatan tempat kaidah itu akan berlaku
  4. Pembentukan peraturan perundang-undangan, selain mengatur keadaan yang ada, juga harus mempunyai jangkauan masa depan
  5. Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan sekadar menciptakan instrument kepastian hukum, tapi juga instrument keadilan dan kebenaran
  6. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada partisipasi langsung atau tidak langsung dari masyarakat

Jika dikaitkan dengan proses perumusan, pembentukan, dan penetapan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 maka ada beberapa hal penting dalam prinsip-prinsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang perlu digarisbawahi, pertama, bahwa undang-undang yang dibuat harus mampu menjangkau masa depan, sehingga undang-undang harus berumur panjang, tidak mudah diubah sesuai kepentingan politik tertentu. Kedua, peraturan perundang-undangan wajib memiliki instrument keadilan, sehingga menuntut perspektif yang sama tentang keadilan dalam penegakan hukumnya, terutama terhadap penerima politik uang yang umumnya adalah masyarakat kelas bawah. Ketiga, aturan mengenai politik uang yang yang menjerat penerimanya ini  didasarkan pada fislosofi salah satunya bahwa politik uang bisa menciderai demokrasi yang dianut Indonesia, karena politik uang diartikan sebagai strategi jual-beli suara pada proses politik dan kekuasan serta tindakan membagi-bagikan uang untuk mempengaruhi pemilih. Prinsi-prinsip di atas menunjukkan bahwa suatu undang-undang atau hukum dibuat untuk mengatur kehidupan bersama. Ketentuan tentang politik uang yang dapat dikatakan keberlakukannya mendapatkan dukungan politik atau keberlakuan politis, mengingat kuatnya dukungan politik dari parlemen yang diisi aktor-aktor politik.

Perumusan dan pembentukan undang-undang juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Untuk membentuk peraturan perundang-undangan harus memenuhi azas;

  1. kejelasan tujuan,
  2. kelembagaan atau pejebat pembentuk yang tepat
  3. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
  4. dapat dilaksanakan
  5. kedayagunaan dan kehasilgunaan
  6. kejelasan rumusan dan
  7. keterbukaan

Sedangkan materi rumusan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan azas [1];

  1. pengayoman
  2. kemanusiaan
  3. kebangsaan
  4. kekeluargaan
  5. kenusantaraan
  6. bhineka tunggal ika
  7. keadilan
  8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
  9. ketertiban dan kepastian hukum dan/atau
  10. keseimbangan, keserasian,dan keselarasan

Jika mengacu pada point 7 maka masalah keadilan dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan menjadi hal penting dan menurut penulis azas keadilan tak hanya menjadi filosofi dalam pembentukannya, tapi juga wajib dalam pelaksanaannya.

Salah satu kasus praktik politik uang yang sampai ke pengadilan dan mendapatkan vonis hakim, berdasarkan pengalaman penulis, adalah praktik politik yang yang dilakukan pendukung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada Pemilihan Gubernur Banten tahun 2017 silam. Pelaku mungkin tak menyangka pembagian paket berisi 5 buah mie instan itu akan membuatnya mendekam di penjara selama 12 bulan.

Praktik politik uang yang dianggap menciderai bahkan dikategorikan sebagai kejahatan demokrasi tidak akan terjadi jika para kontestan berikut tim pemenangannya tidak memiliki niat melakukan praktik curang itu. Menurut penulis, para pemilih yang menjadi sasaran politik uang adalah korban demokrasi transaksional yang dimulai sejak di hulu, khususnya pada saat pasangan calon mencari partai politik pengusung. Lalu, keadilan yang bagaimana dan untuk siapa ketika hukum ini diterapkan.

Tujuan tertinggi dari hukum adalah keadilan. Adil artinya meletakkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya. Dengan meletakkan sesuatu secara proporsional, kedilan berarti ketertiban dan kedisiplinan. Meletakkan dan menerapkan hukum sesuai dengan kesalahannya atas dasar bukti-bukti yang meyakinkan.

Untuk mendapatkan bukti-bukti, saksi-saksi, dan berbagai alat bukti lainnya diperlukan aparat penegak hukum yang memahami makna keadilan hukum bagi masyarakat. Realitasnya, masyarakat dan hukum serta harapan keadilan adalah gejala sosial yang saling berkaitan. Sistem hukum menjadi kuat karena subsistem hukum di dalamnya sangat kuat. Hukum dan keadilan akan kuat, jika aparat penegak hukum dan seluruh komponen masyarakat yang menjadi subsistemnya memiliki kesadaran hukum dan rasa keadilan.

Jika mengacu pada uraian di atas, maka dalam kasus praktik politik uang yang menjerat pendukung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Banten, keadilan telah melaksanakan tugasnya, yakni, meletakkan dan menerapkan hukum sesuai dengan kesalahannya atas dasar bukti-bukti yang meyakinkan.

Berdasarkan teori lain, hukum dianggap sebagai pengemban nilai keadilan yang menjadi ukuran adil tidaknya tata hukum. Selain itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstituitif bagi hukum. Ia normatif karena berfungsi sebagai prasyarat transcendental yang mendasari tiap hukum positif yang bermartabat. Ia menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.

Tujuan akhir dari hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum, mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah system hukum yang paling cocok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan. Hukum adalah undang-undang yang adil, apabila suatu hukun konkret, yakni undang-undang, bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, hukum itu tidak bersifat normatif dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum apabila memenuhi prinsip-prinsip keadilan.

Berdasarkan penjelasan di atas, nyatalah penerapan hukuman pidana terhadap penerima politik uang juga memegang prinsip-prinsip keadilan, di mana baik pemberi maupun penerima di tempatkan sama di hadapan hukum. Hukuman bahkan diperberat jika pemberi adalah pasangan calon, dengan memberikan sanksi administratif berupa pembatalan pencalonan, yang berarti, pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang, dibatalkan pencalonannya sehingga tidak dapat meneruskan proses pencalonan di pilkada.

Vonis yang dijatuhkan hakim pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Serang terhadap dua terdakwa tersebut adalah 36 bulan, sesuai dengan batas minimal hukuman penjara yang diatur dalam pasal 187A, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016.

Putusan ini oleh terdakwa dianggap terlalu berat dan tidak adil, karena menganggap nilai materi yang mereka terima dan bagikan tidak seberapa. Melalui kuasa hukumnya mereka mngajukan banding. Hasilnya, hakim pengadilan tinggi memperbaiki vonis hakim tingkat pertama dengan menjatuhkan vonis 12 bulan penjara untuk keduanya. (***)

Daftar Pustaka

DR. Bernard L Tanya, DR. Yuan N Simanjuntak, DR. Markus Y Hage, Teori Hukum, 117, Genta, 2013

DR. H.M. Efran Helmi Juni, SH, MHum, Filsafat Hukum¸ 319, Pustaka Setia, 2012

DR. Theo Huijbers, Filsadat Hukum, 117, Kanisius, 1995

Rambe Kamarul Zaman, Perjalanan Panjang Pilkada Serentak, 240, Expose, 2016

Tjahyo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak, 120, Expose, 2015


 

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button
Home
Search
Daftar
Laporkan
Stats