Cara Mudah untuk Malas Membaca
Anda bingung menemukan cara gampang untuk malas membaca, karena telanjur menjadi maniak dan merasa telah menemukan kesenangan dan mendapat banyak manfaat?
Tenang, Anda tidak lagi akan mengalami kesulitan, saya tahu caranya, Anda akan turut serta dalam peran sebagai “satu dari begitu banyaknya partisipan yang berandil dalam mempertahankan anjloknya persentase minat baca di Indonesia”. Tidak usah lagi menyesali masa lalu, pengaruh nature-nurture-culture, atau momentum yang telah membentuk Anda jadi suka membaca, dan karenanya jadi minoritas. Menjadi tidak (lagi) suka membaca itu sangat-sangat gampang, seperti mengarang, kata seorang sastrawan. Seyogianya bukan suatu kesulitan.
Sebelum itu perlu Anda tahu, bahwa pada saat menulis ini saya telah tak suka membaca, maka harap maklum jika Anda menemukan saltik atau kesalahan sintaksis, malah mungkin logical fallacy hingga sesat pikir; merupakan suatu kesenangan bagi saya apabila saya tak membaca ulang tulisan ini untuk melakukan swasunting. Dan satu hal lagi: cara ini tidak berlaku bagi siapa pun yang memang (telah) tak suka membaca (pasti tidak mungkin mau membaca tulisan nu teu aya faedahna ieu).
Self-hypnosis/Autosugesti
Memanipulasi diri sendiri tak gampang memang, saya tahu, tapi bukan berarti tak bisa dibikin gampang, selama Anda yakin. Keyakinan adalah kesulitan terbesar kita, saya kira. Anda tak bisa menghilang seperti jin botol karena Anda tak yakin bahwa Anda bisa menghilang seperti jin botol. Itulah masalah sebenarnya. Percayalah seekor careuh akan bisa melewati lubang jarum ketika Anda bisa meyakinkan diri bahwa seekor careuh bisa melewati lubang jarum. Kejakinan adalah koentji.
“Ok, saya yakin. Jadi, manipulasi diri yang bagaimana?”
Maksud saya rajin-rajinlah melakukan autosugesti, bersolilokui, bercakap-cakap dengan diri sendiri, misal katakan: apa-apaan membaca, manfaat membaca adalah omong kosong yang dibesar-besarkan, membaca tidak akan mendapat kontrakan sepuluh tingkat.
Setelah pikiran Anda menuruti kata-kata itu, bahwa Anda sebaiknya tidak usah membaca, maka Anda tidak akan membaca karena pikiran Anda tak mendukungnya. “Pikiran adalah awal dari segalanya”, demikian kata Aristoteles, atau “pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk”, kata Sidharta Gautama.
Katakan juga bahwa membaca bisa-bisa membikin Anda cerdas apabila Anda melakukannya dengan sangat baik, dan menjadi cerdas konon amatlah merepotkan: Anda akan sadar bahwa banyak sekali hal-hal keliru yang dianggap benar, banyak kesewenangan dan pembodohan, terutama di era post-truth kiniketika banyak orang sudah tak lagi menjunjung tinggi etika. Anda akan merasa terkucil dari kerumunan, kebenaran umum, status quo, kealpaan yang mengungkung, atau terhindar dari argumentum ad populum, appeal to authority, abusive ad hominem, dan sesat pikir lainnya.
Setelah mengatakannya, mari kita kesampingkan dan abaikan fakta barusan.
Sebagai gantinya: katakan bahwa orang-orang cerdas dan sukses di dunia sama sekali tidak suka membaca dan tidak punya kemampuan membaca yang sangat baik, bukan karena itu mereka cerdas dan bisa sukses, melainkan hanya karena rutin memamah eceng gondok tiga kali dalam sepekan.
Lanjut: katakan bahwa sama sekali tidak ada orang yang, di tengah kesibukannya, iseng menyempatkan waktu untuk membaca. Tidak ada. Tidak ada yang suka membaca sebelum tidur, sebagaimana tidak ada yang suka membaca di dalam kereta. Katakan bahwa semua orang yakin bahwa kiamat sudah di atas ubun-ubun, sehingga tak ada waktu untuk membaca atau coba-coba membaca. Sementara kiamat sudah di atas ubun-ubun, tiap orang merasa dikejar-kejar lintah darat. Tidak ada yang membaca.
Berikutnya: katakan bahwa siapa pun yang merasa mendapat kesenangan berikut ilmu dari membaca, dengan mengabarkannya secara menggebu-gebu, adalah seorang tukang kibul paling jempolan. Jika Anda merasakan adanya bantahan di pikiran Anda, cepat-cepat bujuk: tidak perlu menambah kegiatan membaca sebagai yang mendatangkan kesenangan, masih ada kegiatan-kegiatan berdampak serupa selain membaca, semisal scroll linimasa media sosial untuk menikmati konten-konten JJ dan pargoy dan konten FYP lain.
Supaya keengganan bahkan kebencian Anda terhadap membaca makin kuat hingga Anda sulit sekali membaca, bahwa membaca adalah kegiatan yang sia-sia, lakukanlah suatu komparasi antara membaca dengan kegiatan lain. Sebagai contoh: bandingkan dengan mencabuti rumput teki atau mencabuti bulu hidung tetangga Anda secara paksa (yang terakhir ini potensial menyebabkan pertengkaran, dan mending bertengkar daripada membaca, bukan?). Atau menguras jamban atau sepuluh kali mengecup mesra tumit Anda sendiri. Juga dengan kegiatan-kegiatan praktis lainnya.
Pascatrauma
Sewaktu Anda berhasil bertahan melewati 10 menit (durasi di mana intensitas perhatian otak Anda akan berkurang, sebagaimana disampaikan John Medina, seorang pakar biologi molekuler, dalam bukunya brain rules), sehingga Anda perlahan-lahan betah membaca, bersabarlah dulu. Itu bisa diatasi. Bahkan jika Anda telanjur suka membaca. Caranya: munculkanlah semacam “trauma” akibat membaca. Membaca bacaan yang bukan sembarang bacaan.
“Bacaan apa yang dimaksud?”
Tak lain bacaan dua kuintal atau lebih, bacaan berat dengan bahasa yang rumit, serumit cinta segitiga antara seekor iblis, bandul kalung bromocorah, dan sebuah sedotan plastik.
Jangkaulah terus-terusan bacaan semacam itu, atau timbunlah dekat-dekat, posisikan selalu diri Anda dalam suatu kepusingan, membacanya di tengah konser Metal ialah opsi terbaik. Sementara waktu tidak apa-apa jika dalam pada itu Anda akrab dengan teks-teks filosofis, misal. Tidak apa-apa jika misal Anda mengerti prinsip Kulit-Kadal-yang-Disamak, Asbakisme, atau Mentimunuantum.
Sebagai permulaan sekaligus penutup, bacalah tulisan saya di bawah ini tentang novel Kiat Sukses Hancur Lebur karya Martin Suryajaya (doktor filsafat cum sastrawan).
___
“Sastra itu menyenangkan, sebagian lainnya memberikan pelajaran” (Edgar Allan Poe)
Dalam maksud “menyenangkan”, penulis kadang menulis cerita demi cerita itu sendiri, tidak demi apa pun, tidak kentara memaksudkannya sebagai perangkat didaktis. Ia bahkan “bermain-main” dalam cerita, dalam bentuk. Ia berbelit karena, mungkin, demi menghindari dikte. Ia seolah tak ingin tertangkap basah memberi “pelajaran” tertentu, dan bahwa dalam maksud “bermain-main” pun ada “pelajaran” yang bisa diamati. Tidakkah “bermain-main” terhadap struktur konvensional cerita, misal, adalah suatu “pelajaran”, bahwa memang konvensi ada untuk mengondisikan bahwa menulis cerita adalah kreativitas yang “sadar-diri”, tapi tidak untuk melumpuhkan geliat inovasi? Dalam apa pun, “membangkang” adalah suatu “pelajaran”, pembangkangan yang bukan demi pembangkangan.
Bahkan sebelum itu, apa itu “pelajaran”? Apa yang membikin sesuatu adalah “pelajaran”, hal yang substansial dari “pelajaran”? “Pelajaran” seperti apa yang diberikan? “Pelajaran” normatif, umum, status quo, “pelajaran” yang telah (di)mapan(kan), suatu reproduksi? Apakah dekonstruksi terhadap “pelajaran” mapan tak dapat dibilang “pelajaran” karena tidak reproduktif (melanggengkan status quo) dan karena, malah sebaliknya, destruktif?
Ketika misal berhadapan dengan Kiat Sukses Hancur Lebur, sebuah novel anti-novel karya Martin Suryajaya, jika seseorang berangkat dengan maksud ingin mendapat “pelajaran” seumpama makan buah mangga yang tuntas dikupas, saya khawatir yang terjadi sebaliknya ia malah tak tahu bahwa yang akan dimakannya adalah kecubung.
Ya, Kiat Sukses Hancur Lebur adalah kecubung, Bung, sedikit-sedikit saja makannya dan jangan terlalu mabuk. Kiat Sukses Hancur Lebur seperti “pelajaran” yang, eng-ing-eng, semacam anti-“pelajaran”.
Amati saja judulnya. Paradoks betul. Kiat Sukses adalah pantat bekantan dewasa, sementara Hancur Lebur adalah popok, terasa tidak pas, kontras. Kiat Sukses tapi Hancur Lebur atau Kiat Sukses untuk Hancur Lebur, seperti neraka yang sejuk.
Kiat Sukses Hancur Lebur tak tanggung-tanggung. Ia tak cuma meludahkan satire, tapi meludahkan satire seraya menunggang satire. Ia “mengolok-olok” optimisme kebangetan (over-optimistic) yang dijadikan komoditas di balik pelbagai frasa Kiat Sukses (Kiat Sukses Melahap Kasur Busa Tanpa Saus, Kiat Sukses Berak dalam Satu Lompatan Salto, dan macam-macam), dan sementara itu dirinya pun adalah bentuk Kiat tersendiri.
Tak bisa dibantah, mengikuti/mematuhi suatu Kiat memanglah suatu “pelajaran” turun-temurun yang sangat berharga bagi anak cucu Adam, yang akan langgeng sampai Dajjal melakukan debutnya sebagai fitnah terbesar akhir zaman, “pelajaran” untuk mau belajar dari kesuksesan orang lain, orang lain yang sering kali memiliki potensi atau peluang yang berbeda dengan kita dalam sistem yang meritokratis, orang lain yang sering kali memang memiliki power atau relasi kuasa, serta tentu celana dalam orang dalam.
Apakah spirit “bermain-main”, mengolok-olok kemapanan dengan “sarkasme berlendir yang merayap keluar dari tenggorokan” (meminjam bahasa Dea Anugrah), sama sekali bukan “pelajaran”, tak ada yang bisa dijadikan “pelajaran”?
Saya selalu berharap ada sejenis permen kaki, permen kaki yang membikin Bung tak lagi perlu berkutat meresepsi cerita-cerita dalam sentimentalitas tertentu untuk mendapat pengalaman katarsis/pengalaman estetis, tak lagi perlu termehek-mehek menghantamkan diri pada suatu “pelajaran”, permen kaki yang begitu dikulum akan langsung membikin Bung berujar, “Saya tercerahkan! Mulai besok, saya akan berlaku lebih lemah lembut terhadap kandang burung!” (*)