Opini

Kita Semua Berhak Dihormati, Lawan Perundungan Online!

Lucu-lucuan yang tak jadi lucu, itu mungkin kalimat yang tepat mengamati kejadian-kejadian cyberlbullying atau perundungan di media sosial yang marak kita baca di media. Mari Simak kejadian satu ini: seorang anak berusia 11 tahun di Tasikmalaya, Jawa Barat, baru-baru ini meninggal setelah menjadi korban perundungan (bullying). Korban dipaksa menyetubuhi kucing oleh teman-temannya, lalu direkam menggunakan telepon seluler dan videonya diunggah ke media sosial. Aksi perundungan ini diduga membuat korban sangat depresi, hingga korban akhirnya sakit dan meninggal dunia.

Pihak kepolisian sudah menetapkan tiga orang teman korban sebagai tersangka dalam kasus ini. Namun, ketiga tersangka tersebut tidak dapat ditahan karena masih di bawah umur.”Jadi, nantinya (tersangka) akan dikembalikan ke orang tua dengan pengawasan,” ujar Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Ibrahim Tompo. (Detik.com, Selasa (26/7/2022)).

Linier dengan kasus-kasus semacam itu yang banyak kita baca di media, UNICEF merilis data pada tahun 2022, sebanyak 45% dari 2.777 responden anak Indonesia mengaku telah menjadi korban cyberbullying.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 361 anak-anak yang dilaporkan menjadi korban bullying di media sosial selama periode 2016-2020.

Penelitian ChildFund International di Indonesia yang bertajuk “Memahami perundungan Online dan Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Online Terhadap Anak dan Orang Muda di Indonesia” tahun 2022 yang melibatkan 1610 anak dan remaja usia 13-24 tahun menemukan temuan kunci dalam riset ini yakni, 5 dari 10 anak dan remaja menjadi pelaku perundungan online. Selain itu, 6 dari 10 anak dan remaja menjadi korban perundungan online.

Masih menurut penelitian tersebut, anak laki-laki dan perempuan sama-sama berisiko menjadi korban cyberbullying. Akan tetapi, anak laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi pelaku. Sementara anak perempuan punya peluang lebih tinggi menjadi korban.

Selanjutnya angka cyberbullying pada anak di bawah 15 tahun lebih tinggi. Sebanyak 64,5% anak di bawah usia 15 tahun menjadi korban cyberbullying. Sedangkan 53,5% menjadi pelaku.

Mengapa perundungan di media sosial marak, sepertinya kita perlu tengok lagi hasil survey  We Are Social, per Januari 2023 ini 77% masyarakat adalah pengguna internet, dan 60,4% adalah pengguna media sosial (medsos) dengan rata-rata pengggunaan internet per harinya 7 jam 42 menit, dan rata-rata pengguna medsos per harinya selama 2 jam 53 menit. Aplikasi WhatsApp yang paling populer di masyarakat, yakni penggunanya sebanyak 92%. Sedangkan aplikasi TikTok rata-rata penggunaannya dalam satu bulan selama 29 jam.

Sedangkan rata-rata tingkat literasi digital masyarakat Indonesia berada di angka 3,49%, artinya sedang yang terbagi dalam beberapa bagian yaitu, cakap berinternet 3,44%, aman berinternet 3,10%, berbudaya saat berinternet 3,90%, dan etis dalam berinternet 3,53%.

Angka tersebut linier pula dengan temuan data dari Microsoft Tahun 2021 yang menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara dengan Tingkat Kesopanan dunia maya paling rendah di Asia Tenggara.

Entah cerita berikut ini cukup mampu membuat kita lega karena Indonesia tak satu-satunya negara dengan kasus-kasus perundungan di media sosial yang memiriskan, atau malah membuat kita makin khawatir atas keselamatan anak-anak kita di media sosial, karena tak hanya di Indonesia, tragedy perundungan di media sosial juga terjadi di luar negeri. Selama tiga tahun, Carlos Virgil,  remaja yang tinggal di Valencia County, New Mexico, Amerika Serikat, ini diejek kawan-kawannya hanya karena berjerawat dan memakai kacamata. Bahkan, dia dianggap seorang gay. Pada tanggal 13 Juli 2013, karena benar-benar tak tahan diintimidasi terus-menerus, Carlos menulis dan memposting surat bunuh diri melalui akun Twitter.

Di postingan twitternya, Carlos justru minta maaf kepada teman-temannya yang bertahun-tahun menyakitinya. “Saya adalah orang yang tak memperoleh ketidakadilan di dunia ini, dan sudah waktunya bagi saya untuk meninggalkan dunia ini,” tulisnya.

Carlos juga meminta teman-temannya untuk tidak menangisi keputusannya. Dia justru minta maaf karena tidak mampu mencintai seseorang, atau membuat seseseorang mencintainya.

“Teman-teman di sekolah benar. Saya seorang pecundang, aneh, homo, dan sama sekali tidak dapat diterima orang lain. Saya minta maaf, karena tidak mampu membuat seseorang bangga. Aku bebas sekarang. Xoxo,” kata Carlos mengakhiri suratnya.

Cerita berikut lain lagi, Jade Stringer, Gadis berusia 14 tahun  dikenal sebagai salah satu siswi paling cantik di sekolahnya, Haslingden High School di Lancashire, Inggris. Bukan hanya itu, dia juga dikenal aktif dalam berbagai kegiatan sekolah. Jade juga aktif mengkampanyekan gerakan anti-bullying di sekolahnya.

Ada yang salah? Mestinya, tiga kelebihan di atas membuat seseorang merasa bangga, karena orang lain pun pasti menginginkannya.

Tapi justru karena kecantikan, aktivitas, dan kampanye anti-bullying inilah yang membuat beberapa temannya iri dan tidak suka terhadap Jade. Dia terus-menerus diteror kawan-kawannya, dan hal itu membuat Jade tak tahan lagi.

Akhir cerita mirip dengan Carlos Vigil. Ya, Jade akhirnya ditemukan tewas gantung diri, karena sudah tak sanggup lagi menahan ejekan dan hinaan dari teman-temannya di sekolah.

Yang berikut terjadi di Yogya. Memang sudah bukan anak-anak, namun tetap bikin miris. Namanya Yoga Cahyadi. Pria asal Yogyakarta ini melakukan tindakan nekat dengan menabrakkan diri ke kereta api pada Sabtu 26 Mei 2013. Pria yang akrab disapa Bobby Kebo ini melakukan tindakan nekat tersebut karena karena tekanan dan hujatan akibat gagalnya acara musik Locstock Fest 2.

Sebagai ketua Event Organizer acara tersebut, Yoga dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas gagalnya acara tersebut. Dalam kicauan terakhirnya, Yoga menuliskan, “Trimakasih atas sgala caci maki @locstockfest2..ini gerakan..gerakan menuju Tuhan..salam”.

Harus berapa banyak lagi korban yang jatuh untuk dapat menghapus sisi hitam sosial media ini?

ChildFund International melalui survey seperti disebutkan di atas, selanjutnya  membagi beberapa jenis perundungan online, antara lain Pelanggaran Privasi, kasus yang terjadi sebanyak 9,4%. Pelaku menyebarkan rahasia atau informasi pribadi, diikuti dengan mencuri/meretas foto atau rekaman seseorang dan mengirimkannya kepada orang lain.

Selanjutnya adalah Pengucilan (eksklusi). Kasus jenis ini terjadi cukup banyak, dialami oleh 36,1% responden. Sekitar 24,5% diantaranya berupa mengabaikan pesan orang lain dan 8,4% berupa menghapus atau memblokir seseorang. Yang tak kalah sering adalah Penguntitan. Sebanyak 33,5% responden mengaku dikuntit secara online yang membuat mereka tidak nyaman. Dalam beberapa kasus ekstrem pelaku mengintai mereka baik online maupun offline.

Tercatat selanjutnya adalah Fitnah atau Pencemaran Nama Baik. Sebanyak 33,5% responden mengaku telah menyamar sebagai seseorang dan menyebarkan informasi palsu kepada orang lain. Sementara, 10,9% responden mengaku menjadi korban dari orang lain yang berpura-pura menjadi mereka dan melakukan hal buruk kepada orang lain di internet.

Sebanyak 31,7% responden mengaku pernah menjadi pelaku Pelecehan Daring. Mereka menghina orang lain di internet. Sementara, 35,8% mengaku pernah dihina atau dilecehkan di internet. Sedangkan 21,9% responden mengaku menerima hinaan seksual saat berinteraksi secara online. Terakhir yang ditemukan dari survey tersebut adalah Kekerasan Seksual, Ancaman dan Pemerasan Online. Sebanyak 2,3% responden mengaku menjadi pelaku yang menggunakan ancaman untuk membuat orang lain mengirimkan foto atau rekaman pribadi mereka. Sedangkan 9,1% diantaranya mengaku menjadi korban. Mereka diancam untuk mengirimkan fotonya. Sekitar 3,5% korban mengaku diancam lebih dari dua kali dalam tiga bulan terakhir.

Pada saat kesempatan bertemu 1000an kawan-kawan pelajar sebuah SMK Negeri di Kabupaten Pandeglang Banten beberapa waktu lalu, saya sempatkan melontarkan pertanyaan-pertanyaan antara lain:  Hal terbodoh apa yang pernah kamu lakukan di media sosial, beberapa siswa antusias mengangkat tangan. Dari 10 (sepuluh) orang yang maju untuk memperdengarkan hal terbodoh apa yang pernah mereka lakukan di media sosial, saya temukan jawaban-jawaban mengagetkan, antara lain seorang siswi sampaikan dia pernah karena saking kesalnya pada seorang temannya lalu menyusun narasi bahwa temannya itu sakit parah, kemudian meninggal. Dia sebarkan narasi itu melalui whatsapp hingga tersebar luas, dan banyak sekali orang yang percaya hingga berbondong-bondonglah mereka ke rumah korban untuk melayat. Korban dan keluarganya tentu saja kaget. Entah bagaimana akhir ceritanya, yang pasti saat itu saya cukup melongo.

Seorang siswa lain dengan semangat bercerita bahwa dia telah bodoh memainkan game role play dengan berpura-pura jadi orang lain dan dari situ dia punya banyak teman di dunia maya yang lama kelamaan malah merepotkannya. Kemudian dia merasa sulit lari dari karakter yang diperankannya itu, dan merasa lambat laun berubah kepribadian.

Saya beranjak ke pertanyaan lain yang saya lontarkan:  Menurutmu layak tidak kamu diperlakukan buruk oleh orang lain?. Hampir seluruh siswa menunjuk pada seorang yang duduk di tengah yang sedari awal saya amati hanya tertunduk. Dia menolak diminta maju. Kepalanya terus menunduk, sementara kawan-kawannya makin riuh menyemangati dia untuk maju. Pelan saya yakinkan dia untuk maju, dan akhirnya bersedia. Sambil tetap menunduk dia maju dengan posisi badan membelakangi teman-temannya. Saya bertanya ulang, “Menurutmu, kamu layak diperlakukan buruk oleh orang lain?”. Cepat dia menggelengkan kepala sambal tegas berkata “Tidak!”. Saya tanya lagi, “Kamu diperlakukan buruk oleh orang lain?”. Dia menjawab yakin “Iya!”. Kepalanya terus menunduk, sikap badannya bungkuk, matanya keruh menahan tangis.

Apa dampak dari cyberbullying? Menurut UNICEF,  Bullying yang terjadi secara online, mengakibatkan korbannya merasa seperti diserang dari mana-mana, bahkan di dalam rumahnya sendiri. Anak-anak yang mengalami cyberbullying, umumnya menunjukkan ciri-ciri depresi, memiliki masalah kepercayaan dengan orang lain, tidak diterima oleh rekan-rekan mereka, selalu waspada dan curiga terhadap orang lain  dan memiliki masalah menyesuaikan diri dengan sekolah serta kurang motivasi sehingga sulit fokus dalam mengikuti pembelajaran.

Perasaan ditertawakan atau dilecehkan oleh orang lain dapat membuat seseorang tidak ingin membicarakan atau mengatasi masalah tersebut. Dalam kasus ekstrem, cyberbullying bahkan dapat menyebabkan seseorang mengakhiri nyawanya sendiri seperti kasus-kasus yang saya sebutkan di atas

Sedikit pesan untuk orang tua yang memiliki anak, sampaikan bahwa di mana pun perundungan itu terjadi baik online maupun offline, jika anak-anak kita  tidak nyaman dengan hal itu, maka tanamkan pada pikiran anak-anak kita bahwa mereka perlu melakukan pembelaan. “Katakan apa yang kamu inginkan – jika kamu merasa tidak senang dan tetap saja tidak berhenti, maka ada baiknya kamu mencari bantuan”, begitu kira-kira yang selalu saya sampaikan pada anak kelas 3 sekolah dasar saya.

Satu hal, cyberbullying dalam konteks penghinaan yang dilakukan di media sosial tercermin dalam Pasal 27 ayat (3) UU 19/2006 tentang ITE yang berbunyi:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Adapun ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.

Menghentikan cyberbullying bukan hanya tentang mengungkapkan siapa saja para pelaku bully, namun juga tentang menekankan bahwa semua orang berhak untuk dihormati – baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Lawan!

 


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button