Pemungutan Suara Melalui Surat/Pos di Hong Kong dan Makau Berpotensi Hilangkan Hak Pilih
BANTEN – Pemungutan suara dengan netode surat/pos pada Pemilu Indonesia di Hongkong dan Makau dinilai berpotensi menghilangkan hak pilih dari pemilih tambahan.
Hal itu diungkap Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo menanggapi rencana KPU RI menerapkan penggunaan metode pemungutan suara melalui surat/pos bagi pemilih di Hong Kong dan Makau.
Menurut Wahyu, mobilitas warga Indonesia menuju Hong Kong dan Makau setiap hari jumlahnya ribuan dan berpotensi masuk dalam daftar pemilih tambahan (DPTb), sehingga hak pilihnya perlu diperhatikan.
“Metode ini jelas sangat berpotensi untuk membatasi hak pilih pekerja migran Indonesia (PMI) yang merupakan mayoritas warga negara Indonesia di Hongkong dan Makau,” kata Wahyu Susilo melalui pesan singkat Whatsapp, Rabu, (29/11/2023).
Lihat juga Sejumlah TPS di Banten Sulit Dijangkau Saat Pendistribusian Logistik Pemilu 2024
Dikatakan Wahyu, berdasarkan kajian dari BAWASLU RI, salah satu potensi terjadinya kerawanan pemilu di luar negeri karena metode surat/pos.
Karena, imbuhnya, metode pemungutan suara yang demikian tidak ada instrumen pengawasan dan pemantauannya, sehingga potensi kecurangan dan penyalahgunaan surat suara sangat tinggi.
“Panwas LN dan pemantau Pemilu tidak pernah mendapatkan akses yang memadai untuk mengawasi dan memantau alur proses dari distribusi surat suara melalui metode pos/surat ini,” tukas Wahyu.
Dia mengungkapkan, metode surat/pos sebagai metode pemungutan suara akan menjadi pengabaian hak politik PMI di Hongkong dan Makau.
WNI di kedua negara tersebut selama ini menjadi pemilih Pemilu Indonesia yang paling antusias dengan tingkat partisipasi yang tinggi.
“Ini menunjukan antusiasisme kawan-kawan di Hongkong dan selama ini metode TPS itu metode yang paling efektif untuk mendongkrak partisipasi pemilih di Hongkong,” katanya.
Wahyu mendesak KPU RI serta PPLN Hongkong dan Makau untuk mempertimbangkan kembali opsi surat/pos sebagai satu-satunya metode pemungutan suara.
Penyelenggara Pemilu bersama KJRI Hongkong dan KBRI Beijing harus serius untuk melakukan pendekatan kepada otoritas resmi Hongkong untuk dapat melaksanakan pemungutan sura melalui TPS di tempat pertemuan publik seperti yang terjadi dalam Pemilu Indonesia di Hongkong dan Makau tahun 2019.
Metode TPS Lebih Baik
Berdasarkan pandangan Migrant CARE, kata Wahyu, opsi meniadakan mekanisme pemutusan suara melalui TPS merupakan bentuk dari ketidakseriusan penyelenggara Pemilu Indonesia di Hongkong untuk menyediakan TPS yang memadai.
“Tahun 2019 Otoritas Hongkong memang melarang penggunaan lapangan Victoria Park sebagai tempat pemungutan suara seperti yang terjadi pada tahun 2014,” Terang Wahyu.
Tapi, di tahun 2019 penyelenggara bisa menyelenggarakan Pemilu di gedung-gedung pertemuan umum seperti sport hall di Hongkong.
Wahyu juga mendesak BAWASLU RI untuk mengawasi adanya potensi ketidakseriusan KPU RI dalam penyelenggaraan Pemilu di Luar Negeri yang menyebabkan hak pilih warga negara Indonesia di luar negeri dihalang-halangi. (ukt)