Gen Z dan Milenialis Pilih Siapa?
Gen Z dan Milenial untuk pertama kalinya di Indonesia menjadi pemilih terbanyak di Pemilu 2024. “Sebanyak 66.822.389 atau 33,60% pemilih dari generasi milenial,” kata Komisioner KPU RI Betty Epsilon Idroos dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi DPT di kantor KPU, Jakarta, Minggu (2/7/2023).
Generasi milenial adalah sebutan untuk orang yang lahir pada 1980 hingga 1994. Sedangkan pemilih dari generasi Z adalah sebanyak 46.800.161 pemilih atau sebanyak 22,85% dari total DPT Pemilu 2024. Adapun sebutan generasi Z merujuk pada orang yang lahir mulai 1995 hingga 2000-an.
Jika diakumulasikan, total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta pemilih. Kedua generasi ini mendominasi pemilih Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45% dari total keseluruhan pemilih.
Selain itu, adapun kelompok pemilih dari generasi X yang menyusul di urutan berikutnya yaitu sebanyak 57.486.482 atau 28,07% dari total pemilih. Generasi X adalah orang kelahiran 1965 hingga 1979.
Sisanya berasal dari kelompok generasi pre-boomer, atau orang yang lahir sebelum tahun 1944 dengan total sebanyak 3.570.850 atau 1,74% pemilih.
Betty juga menjelaskan, total 204 juta pemilu ini ditetapkan oleh KPU setelah proses merekapituasi hasil penetapan DPT yang dilakukan seluruh KPU kabupaten/kota dan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) pada 20-21 Juni 2023.
Bagaimana Milenialis dan Gen Z Memilih Capres dan Cawapres?
Generasi muda sekarang tentu berbeda dibanding 10-20 tahun lalu dalam menyaring pilihan calon presiden serta isu yang mereka anggap patut diseriusi.
Berdasarkan hasil survei, kaum milenial dan gen Z saat ini sangat peduli dengan isu korupsi, lingkungan dan kesejahteraan. Pengalaman memimpin kandidat presiden jadi indikator penting bagi mereka, sementara kemampuan retorika calon pemimpin berada di nomor sekian.
Lihat juga Mendominasi Kelompok Pemilih, Gen Z dan Milenial Sasaran Utama Sosialisasi Pemilu
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) melakukan survei pada Agustus 2022 lalu dan melibatkan 1.200 responden berusia 15-39 tahun di 34 provinsi. Ada beberapa variabel yang menjadi fokus survei. Di antaranya karakter capres, kompetensi capres, isu strategis dan sumber informasi.
Hasil survei CSIS itu menyatakan karakter calon pemimpin di 2024 di mata anak muda mengalami perubahan dibanding 2019 lalu. Pada 2022, anak muda cenderung menyukai calon presiden dengan karakter jujur dan antikorupsi. Presentasenya mencapai 34,8 persen. Padahal di 2019 lalu, karakter ini hanya 11,1 persen.
Dibanding lima tahun yang lalu, saat Joko Widodo memenangkan kontestasi, anak-anak muda memang cenderung menyukai calon presiden dengan karakter merakyat dan sederhana. Presentasenya mencapai 39,2 persen atau lebih tinggi dari karakter jujur antikorupsi di 2022.
Mengutip hasil riset CSIS, pergeseran tersebut diasumsikan terjadi karena meningkatnya ketertarikan anak muda terhadap isu-isu korupsi dan kebutuhan untuk mengedepankan agenda-agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi ke depan.
Masuk ke variabel kompetensi calon presiden di 2024, hasil survei CSIS menyatakan ada tiga yang menjadi perhatian generasi muda. Di antaranya mampu membuat perubahan (28,7 persen), bisa memimpin saat krisis (21 persen) dan inovatif dalam menerbitkan kebijakan (14,8 persen).
Generasi muda mengikuti perkembangan di dalam dan luar negeri. Mereka tahu bahwa krisis bisa saja terjadi di masa depan, sehingga menganggap presiden berikutnya harus punya tiga kompetensi tadi.
Faktor inovasi dan kepemimpinan di saat krisis dipandang perlu dalam kepemimpinan ke depan. Apalagi tantangan di tingkat domestik dan global ke depan diperkirakan akan menantang dan membutuhkan pemimpin yang cepat mengambil keputusan, demikian mengutip hasil riset CSIS.
Kompetensi retorika atau komunikasi publik menjadi tidak penting. Hanya 0,3 persen dalam survei yang dilakukan CSIS. Kemampuan membuat kebijakan populis pun tidak diminati generasi muda dalam mencari calon presiden.
Saluan Utama Info Pemilu
Beberapa hari lalu saya sempatkan berbincang melalui sambungan telepon dengan anak Gen Z saya yang sedang menimba ilmu di Kota Jogja.
“14 Februari Kamu mau nyoblos di Jogja atau di Serang, Ka?”, tanyaku, mengingat ini akan jadi kali pertama dalam hidupnya pergi ke TPS untuk menunaikan hak politiknya sebagai rakyat.
“Kalau kamu mau nyoblos di Jogja, berarti harus diurus permohonan pindah tempat nyoblosnya”, kata Bapaknya melanjutkan.
Jawaban dia agak mengejutkan: “Kayaknya ga akan nyoblos, Ma. Semua pasangan calon tidak ada yang punya rekam jejak bersih. Lagipula, teman-teman Kaka di sini seringnya diskusi tentang apakah pemilu masih cocok dipakai sebagai sarana memilih pemimpin negara”, jawabnya panjang lebar.
Ini agak berbeda dengan beberapa literatur yang saya baca yang menyatakan bahwa tingkat ketertarikan generasi muda atau Gen Z dan milenial untuk mencoblos di pemilu cenderung tinggi.
Kabarnya justru mereka ingin menggunakan hak suaranya. Namun, temuan berikut agak terkonfirmasi bahwa tak sedikit yang masih minim informasi mengenai pelaksanaan Pemilu 2024.
Kurang Antusias
Bahkan, menurut survei Indopol, generasi muda yang terkatagori Gen Z dan milenial sebenarnya tidak terlalu antusias inisiatif mencari informasi politik terbaru.
Menurut survey Indopol, generasi muda saat menerima link berita, hanya 10,63 persen yang membaca hingga tuntas. Kemudian ada 13,78 persen yang sekadar membaca judul dan cuma 3,94 persen yang mencari sumber pembanding.
Survei Indopol ini dilakukan dengan melibatkan 1.230 responden berusia 17 tahun ke atas di 34 provinsi. Hasil survei dirilis pada Desember 2021 lalu.
“Kamu harus aktif cari informasi tentang pemilu ini Ka”, saya melanjutkan pembicaraan. “Termasuk untuk mencari rekam jejak calon-calon. Cari sumber literasi yang paling objektif, kosongkan ‘gelas’mu. Jangan terpengaruh dengan framing dan agenda setting pihak-pihak tertentu”, ujarku. “Jangan golput, karena hak suaramu akan direbut oleh orang-orang jahat yang mungkin tak pernah ingin bangsa kita lebih baik”, sambungku.
Vania Dwi Thalita Arizon (20) mahasiswa asal Riau yang kuliah di Yogyakarta seperti yang saya kutip dari CNN Indonesia, mengakui bahwa inisiatifnya minim untuk mencari tahu kebaruan informasi tentang politik.
“Sebagian besar pendorong saya untuk membaca politik adalah untuk kepentingan organisasi, dan sebagian lainnya karena kebetulan muncul di beranda sosial media saya dan sedang viral,” ucap Vania.
Dia mengaku sering mengakses informasi politik dari Quora. Soal jumlah peserta pemilu, tanggal pencoblosan dan surat suara, Vania sudah mengetahui.
Lihat juga Presiden Pilihan Generasi Z
Kandidat calon presiden pun sudah ia kenali. Akan tetapi belum ada pilihan yang ditentukan karena setiap kandidat belum memiliki calon wakil presiden. “Untuk saat ini saya masih ragu untuk memilih, karena cawapres belum pasti,” kata Vania.
Tak seperti dulu, pencarian dan penggalian informasi kini dipermudah berkat teknologi.
Internet menjadi pembuka cakrawala kawula muda untuk mengulik, mencari tahu, kritis dan memahami isu-isu penting nasional maupun internasional.
Menurut Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), 215.626.156 orang terkoneksi internet pada 2022 hingga 2023.
Untuk mengetahui jumlah pengguna media sosial dan media chat, lembaga tersebut menggunakan metode pengumpulan data dengan multiple answers.
Hasilnya, pengguna Youtube di Indonesia mencapai 65.41 persen, Facebook 60,24 persen, Instragram 30,51 persen, TikTok 26,80 persen, dan Twitter 0,91 persen.
APJII juga memisahkan penggunaan media chat dengan media sosial. Dalam surveinya, tercatat pengguna WhatsApp mencapai 98,63 persen dan Facebook Messenger 46 persen. Selain itu, ada pula pengguna Telegram sebanyak 12,91 persen, Instagram Direct Message 10,72 persen, Line 2,07 persen, dan TikTok 0,10 persen.
Survei CSIS
Survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia mencatat 59 persen kawula muda memanfaatkan media sosial sebagai media untuk mendapat dan mencari informasi baru.
CSIS mencatat sebanyak 32 persen kawula muda pun masih menonton televisi untuk mendapat informasi.
CSIS yakin kepemilikan akun media sosial yang meningkat signifikan juga seirama dengan peningkatan perspektif serta cara pikir.
WhatsApp menjadi media sosial penyedia informasi paling sering digunakan kawula muda sebanyak 98,3 persen pada 2022 dibandingkan 2017 sebanyak 70,3 persen.
Media sosial seperti YouTube, Instagram, dan TikTok juga kerap digunakan sebagai sumber informasi terbaru. Hanya saja, popularitas Twitter tak seperti empat media sosial lainnya.
Namun keberlimpahan teknologi komunikasi dan informasi tak serta merta membuat para pemilih muda antusias mencari informasi seputar politik dan Pemilu 2024.
Masih ada sebagian kalangan yang selektif. Mereka butuh pemantik untuk inisiatif menggali isu atau informasi politik di media sosial. Salah satu pemantiknya adalah: viral.
Pelajar asal Surabaya, Annisa Amalia (19), mengaku sudah tahu 3 orang kandidat calon presiden yang beredar sejauh ini. Tetapi dia belum menentukan pilihan. Mengenai cara mencoblos pun dia juga belum mengetahui.
Anissa mengaku sangat jarang mencari informasi tentang politik. Tetapi apabila sudah viral, dia akan inisiatif mencari dan mendalaminya. “Tanggal 14 Februari 2024, saya ingat karena sama dengan hari valentine dan pasti akan mencoblos karena itu jadi pengalaman pertama,” ucap Anissa.
Platform Bijak Memilih
Beberapa waktu lalu, diluncurkan bijakmemilih.id yakni sebuah platform yang disebut sebagai sebuah gerakan independen yang diinisiasi oleh Think Policy dan What Is Up, Indonesia (WIUI) secara independen.
Think Policy menyediakan fungsi sekretariat secara keseluruhan sebagai badan hukum, dan bersama dengan WIUI, menjalankan Bijak Memilih di bidang riset, platform, acara, media sosial, dan kemitraan.
Pendanaan Bijak Memilih adalah bagian dari inisiatif corporate citizenship Think Policy, dan dimiliki bersama oleh kedua organisasi dengan komitmen penuh dalam menjaga independensi tanpa afiliasi dengan kandidat atau partai manapun.
Bijak Memilih bertujuan agar masyarakat, khususnya orang muda, bisa membuat pilihan yang didasari oleh informasi berkualitas.
Terdapat banyak fitur dalam platform tersebut, dan sebelum berselancar lebih jauh sebaiknya kita terlebih dahulu mengikuti quiz yang bertujuan untuk mengukur seberapa cemas kita terhadap isu spesifik. Hasilnya kita mengetahui isu strategis apa yang relevan dengan kita, dan disediakan informasinya pada platform tersebut.
Guideline score pada quiz tersebut juga dirancang dengan bahasa anak muda semisal: Kamu pilih 1 jika : Nggak penting-penting amat (Ada atau tidaknya isu ini tidak mengganggu kehidupanku), 2 jika Ganggu sih, tapi yaudah aja (Isu ini cukup mengganggu tapi tidak mempengaruhi hidupku), 3 jika Ganggu banget karena berpengaruh langsung (Isu ini menggangguku karena cukup berpengaruh di hidupku) dan 4 jika Penting banget, we should act now (Isu ini sangat mengganggu dan harus segera ditindak).
Isu yang diangkat cukup relevan dan sepertinya cocok bagi generasi muda yang pemikiran dan pemahamnnya kadang melampaui generasi sebelumnya, antara lain isu tentang akses pendidikan berkualitas merata di seluruh Indonesia.
Isu lainnya,, seperti pencegahan konsumsi gula dan rokok berlebihan untuk menurunkan risiko penyakit, penanganan kasus kekerasan seksual yang berpihak pada korban, perlindungan pekerja lepas dan informal hingga kebebasan berbicara di media sosial.
Di sini disediakan, partai politik (parpol) mana yang concern pada isu-isu tersebut, hingga parpol mana yang kadernya korupsi saat menjabat.
Ke depan, platform ini juga akan mengupas rekam jejak pasangan calon presiden, calon kepala daerah maupun calon legislatif dengan sumber data yang sah serta dapat dipertanggungjawabkan, berdasarkan isi disclaimernya.
Nah, anak muda, yuk cari tahu tentang pemilu. Karena tanpamu, apalah artinya semua riuh ini.