Jadi Pemimpin Harus Mau Dikritik
BANTEN – Menjadi seorang pemimpin baik kepala negara, kepala daerah, atau sebagainya harus mau menerima kritikan dan tidak marah ketika dikritik oleh masyarakat.
Social Movement Institute mengadakan Festival Keadilan di Kota Serang pada Sabtu, (19/01/2024). Hadir dalam kesempatan tersebut sebagai pembicara Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dan Eko Prasetyo.
Fatia diberikan kesempatan pertama untuk berbicara, menurut Fatia, ketika ingin menjadi pemimpin harus rela dikritik. Karena pemimpin yang anti kritik pada akhirnya akan berlaku tidak memiliki rasa belas kasihan kepada rakyatnya.
Lihat juga Bau Gas Kimia PT Chandra Asri Dikeluhkan Warga Karena Sebabkan Sakit Kepala
Ia menyinggung bahwa suara yang diminta oleh calon pemimpin setiap 5 tahun sekali merupakan suara yang mahal sehingga berhak untuk mengkritik.
“Minta suara kita setiap 5 tahun sekali, emang suara kita murah, mahal suara kita. Tapi giliran kita kritik karena kita nggak puas dengan kepemimpinannya terus habis itu kita dikiriminalisasi kita diintimidasi. Pada akhirnya membuat anak-anak muda hari ini nggak tahu arahnya kemana,” katanya.
Fatia menjelaskan terkait ciri-ciri negara otokrasi, dimana di negara tersebut ada Pemilu, negaranya punya ruang-ruang masyarakat sipil untuk menyuarakan pendapat secara undang-undang. Tetapi didalam undang-undang lain ada beberapa bentuk-bentuk pembatasan contohnya dalam KUHP, UU ITE dan lain sebagainya.
“Di situ kita ditakut-takutin dan itulah produk-produk yang menciptakan yang namanya rezim otokrasi. Jadi mereka menggunakan dan membajak demokrasi secara perlahan untuk menciptakan produk-produk otoritarian. Tanpa disadari pemimpin-pemimpin otoriter ini hari ini sudah membajak ruang-ruang demokrasi secara perlahan dan kita nggak sadar soal itu,” ungkap Fatia.
Fatia juga menyinggung terkait kampanye Pemilu 2024 yang dipertontonkan dengan menampilkan citra gemoy yang terkesan lucu dan joget-joget. Ia meminta agar generasi muda tidak terpengaruh oleh metode kampanye seperti itu dan memilih berdasarkan visi-misinya.
“Generasi Z dan generasi milenial apapun itu nggak bodoh dan tidak gampang tergerak dengan kampanye kampanye yang kesannya lucu yang cuma joget-joget doang. Kita tahu dan kita peka sama sejarah, kita peka sama apa yang namanya pelanggaran HAM, kita peka sama apa itu namanya gagasan Politik dan suara kita enggak bisa dibeli sama uang,” tegas Fatia.
Di tempat yang sama, Haris Azhar mengatakan, sebagai generasi muda harus memiliki kesadaran sosial politik. Karena hal itu merupakan modal untuk menyusun gerakan politik dan gerakan sosial yang baru. Maka dari itu, festival keadilan hadir dalam rangka menyusun satu praktek alternatif.
“Kesadaran sosial politik Anda adalah modal untuk menyusun satu gerakan politik dan gerakan sosial baru,” kata Haris Azhar.
Dikatakan Haris Azhar, saat ini masyarakat melihat calon-calon presiden yang malas berdebat dan memilih untuk joget. Menurutnya hal itu saat ini membuat debat dan argumentasi mulai dipinggirkan.
Haris menyebutkan, pada pencalonan legislatif (caleg) 2024 banyak pengusaha yang maju. Menurutnya fenomena pengusaha yang maju sebagai caleg karena bisnis sang pengusaha gagal sehingga mencalonkan diri untuk memperlancar bisnisnya.
“Itu artinya apa, artinya bisnisnya gagal. Supaya bisnisnya lancar dia mau jadi penguasa politik, penguasa politik bisa melahirkan kebijakan yang memperlancar bisnis mereka,” imbuhnya. (ukt)