Banten

KDRT Ada Empat Tipe, Salah Satunya seperti Dialami Lesty Kejora

SERANG – Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap artis, Lesty Kejora yang diduga dilakukan oleh Rizky Billar, suaminya, menarik perhatian publik. Bukan hanya karena posisinya sebagai public figure, tapi juga karena masih terjadinya tindak KDRT meski telah ada Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Dalam undang-undang tersebut telah jelas diatur ancaman pidana bagi pelaku KDRT. Tindak KDRT juga terjadi di Banten dengan jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) milik Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (Kemen PPA), pada tahun input tahun 2022, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Banten mencapai 865 kasus yang tersebar di 8 kabupaten/kota. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan jumlah kasus yang sama pada tahun 2021 sebanyak 829 kasus dan lebih tinggi dari jumlah kasus pada 2020 yang mencapai 427 kasus. Lalu seberapa efektif ancaman pidana memberikan efek jera kepada pelaku dan mampukah membuat kasus KDRT tidak terjadi lagi?

Menurut pengamat hukum pidana Universitas Tirtayasa Banten, Mohyi Muhas, ancaman pidana dalam UU 23 Tahun 2004 sesungguhnya cukup memberikan efek jera bagi para pelaku KDRT. “Efek jera di situ tidak hanya bagi pelaku KDRT, melainkan juga dalam perpektif sosial (detterence social effect) agar orang tidak melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan oleh pelaku. Artinya, pemidanaan yang bertujuan memberi efek jera itu, tidak berhenti di situ, melainkan bertujuan mendidik masyarakat bahwa pernikahan itu sakral dan harus dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun agama,” kata Muhyi,  Minggu 9 Oktober 2022.

Di setiap kasus KDRT, imbh Muhyi, apapun motifnya tentu akan berdampak tidak baik dalam keluarga dan masyarakat. “Kasus KDRT tidak bisa hanya diserahkan pada hukum pidana saja. Karena timbulnya kejahatan berkaitan juga dengan faktor-faktor lain seperti ekonomi, sosial, politik dan budaya. Khusus KDRT faktor agama juga menentukan,” tegasnya.

Dalam pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan empat tipe KDRT, yaitu, kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga. Pasal berikutnya menerangkan, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. “Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang,” demikian bunyi pasal berikutnya menerangkan.  Terkait kekerasan seksual, undang-undang mendefinisikan sebagai pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Mengenai penelantaran rumah tangga, ditegaskan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. “Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.”

Sebagai informasi, acaman pidana terhadap pelaku KDRT dalam UU Nomor 23 Tahun 2004, diatur dalam pasal 44. Pada ayat (1) pasal itu menyatakan,  setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000. Dalam hal perbuatan tersebut  mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000, (ayat 2 pasal 44). Kemudian, ayat 3 mengatakan, dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000. Jika perbuatan itu dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000.
Bagi pelaku kekerasan psikis berlaku pasal 45. Dalam ayat (1) disebutkan setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000. Jika dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000.

Namun, menurut Muhyi, untuk kasus KDRT harus juga dilihat per kasusnya, karena menyangkut orang-orang terdekat di dalam kasus tersebut. Jika tergolong ringan dan masih bisa diperbaiki dan didamaikan dapat dilakukan secara restoratif justice. “Meskipun KDRT ini merupakan delik aduan, jika sudah mengakibatkan luka berat atau bahkan kematian, ini bisa masuk ke dalam ranah delik biasa,” kata Muhyi.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan dan Keluarga Berencana (DP3AKKB), Siti Ma’ani Nina, seperti dilansir faktabanten.co.id, mengungkapkan bahwa kasus KDRT di Banten selama tahun 2020 jumlahnya 81 kasus, menurun jika dibandingkan data tahun 2018 sebanyak 271 kasus dan tahun 2019 sebanyak 219 kasus.

Dihubungi terpisah, Ridwan, salah seorang pengacara di Asrek Law Firm, menjelaskan, kebanyakan kasus KDRT motifnya adalah soal ekonomi atau adanya pihak ketiga. “Dalam pengalaman penanganan kasus KDRT, kadang menjadi buah simalakama tatkala diproses secara hukum. Pihak terlapor mengajukan cerai kepada pihak pelapor, dan pelapor kadang mengurungkan niatnya karena ketergantungan ekomomi pada pelapor sehingga berakhir dengan mediasi,” kata Ridwan.

Data Kemen PPA menyebutkan jumlah kasus kekerasan pada perempuan dan anak dalam berbagai jenis kekerasan yang dialami korban hingga tahun 2022 di Banten, terdiri dari kekerasan fisik sebanyak 304, kekerasan psikis sebanyak 319, kekerasan seksual 392, kekeasan berupa eksploitasi 6, trafficking 18, penelantaran 76, dan kekerasan lainnya 127. Disebutkan pula, kasus KDRT paling banyak terjadi di dalam rumah, yang mencapai 576 kasus, urutan kedua tempat lainnya sebanyak 163 kasus, fasilitas umum 82 kasus, sekolah 28 kasus, tempat kerja 10, dan lembaga pendidikan kilat 6. Sedangkan jumlah korban berdasarkan tempat kejadian disebutkan, paling banyak adalah korban KDRT  di dalam rumah sebanyak 602 korban, tempat kejadian lainnya 168, fasilitas umum 89 korban, sekolah 28 korban, tempat kerja 10 korban, lembaga pendidikan kilat 7 korban.

Terhadap korban KDRT, sepert Lesty Kejora, apa yang harus dilakukan dan bagaimana peran pemerintah dan kepolisian dalam hal ini? Undang-undang Penghapusan KDRT mengatur hak hak korban KDRT. Ditegaskan bahwa korban KDRT berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; dan penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. Para korban KDRT juga berhak mendapatkan pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan memperoleh pelayanan bimbingan rohani.

Pemerintah dan pemerintah daerah juga wajib memberikan pelayanan sesuai fungsi tugas masing-masing dengan melakukan upaya, penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian, penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani. “Pembuatan dan pengebangan sistem mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudak diakses oleh korban, serta memberikan perindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban,” demikian bunyi pasal 13 huruf c dan e UU Nomor 23 Tahun 2004.

Undang-undang juga memerintahkan kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang identitas petugas untuk pengenalan kepada korban dan menerangkan bahwa  kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; serta menjelaskan kewajiban kepolisian untuk melindungi korban. Polisi dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban, paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. Kemudian, dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. “Polisi wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan,” begitu menurut pasal 18 Undang-undang Penghapusan KDRT. (azh)


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button