Retreat Magelang: Antara Pembekalan dan Upaya Menghidupkan Kembali Sentralisasi Kekuasaan

Sebanyak 481 kepala daerah telah dilantik oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto secara bersamaan di Istana Negara Jakarta pada 20 Februari 2025. Usai dilakukan pelantikan, selanjutnya kepala daerah yang dilantik diharuskan mengikuti retreat di Magelang mulai tanggal 21-28 Februari 2025.

Agenda ini dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang konon katanya untuk memberikan pembekalan kepada seluruh kepala daerah. Saat retreat, kepala daerah akan diberikan pembekalan oleh Presiden Prabowo Subianto, Lemhanas, bahkan Presiden ketujuh Joki Widodo.
Setidaknya agenda ini menelan biaya Rp13 miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Cukup mencengangkan memang, kegiatan ini dilaksanakan usai pemerintah menerbitkan kebijakan efisiensi bagi seluruh kementerian/lembaga sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Negara.
Pokok persoalannya bukanlah terletak dari seberapa banyak yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk agenda retreat. Namun, seperti apa output yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Apakah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pemerintahan atau justru untuk mewujudkan sentralisasi kekuasaan. Agar nantinya seluruh kepala daerah patuh dan tunduk pada intruski presiden.
Sejatinya sentralisasi kekuasaan bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Karena kebijakan ini pernah diberlakukan pada masa Orde Baru oleh Presiden Soeharto yang merupakan mantan mertua Prabowo. Pada masa itu, seluruh kebijakan terpusat di pemerintah pusat sehingga berdampak buruk pada pola kebijakan daerah.
Dampak nyata dari sentralisasi kekuasaan yakni semakin terbukanya peluang pelanggaran HAM lebih lebar. Karena kritik yang ditujukan pada pemerintah akan ditindak dengan keras. Selain itu, sentralisasi kekuasaan juga akan membuat demokrasi semakin lemah karena partisipasi masyarakat terbatas dalam pengambilan keputusan. Hal ini menjadi dampak negatif dari penerapan sentralisasi. Inilah mengapa, kontrol pemerintah atas masyarakat semakin kuat dan melemahkan demokrasi.
Meskipun saat ini telah ada Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah yang membagi urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga kecil kemungkinannya sentralisasi kekuasaan akan diberlakukan kembali. Tetapi dengan jumlah koalisi pendukung pemerintah di parlemen yang mendominasi, sangat dimungkinkan untuk melakukan revisi undang-undang tersebut.
Pola picik penggila kekuasaan selalu menemukan celah untuk mengakali setiap aturan. Tugas kita sebagai anak bangsa adalah mengawal agar konstitusi tidak lagi dicederai dan kebijakan sentralisasi kekuasaan tidak diberlakukan kembali. (***)