Banten

Sidang Gugatan Warga Cibetus: Ahli UGM Sebut Izin Lingkungan Hanya Formalitas dan Jadi Akar Konflik

BANTEN – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang kembali menggelar sidang gugatan lingkungan hidup yang diajukan warga Kampung Cibetus, Desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang, terhadap PT Sinar Ternak Sejahtera (STS) dan Pemerintah Kabupaten Serang, Senin (24/11/2025).

Sidang dengan nomor perkara 85/G/LH/2025/PTUN.SRG itu dihadiri tim advokasi dari LBH Jakarta, LBH Pijar, serta Jaringan Solidaritas Cibetus yang tergabung dalam Tim Advokasi Padarincang Melawan. Pada persidangan lanjutan ini menghadirkan dua ahli hukum administrasi negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yakni Rico Andi Wibowo dan Wahyu Yusantoso.

Dalam keterangannya, Rico Andi Wibowo menegaskan bahwa perizinan pada dasarnya merupakan instrumen pengendalian terhadap aktivitas usaha yang berisiko bagi masyarakat dan lingkungan. Namun dalam praktiknya, ia menilai mekanisme perizinan semakin longgar dan cenderung hanya memenuhi aspek formalitas.

“Perizinan sering kali hanya disetujui di atas kertas, tetapi substansinya bermasalah, baik dari aspek hukum maupun dampaknya terhadap masyarakat,” katanya.

Menurut Rico, izin seharusnya didasarkan pada asesmen yang memadai untuk memastikan aktivitas usaha tidak merugikan lingkungan maupun kehidupan sosial warga. Ia menilai pelonggaran perizinan atas nama kemudahan berusaha justru berpotensi menimbulkan persoalan baru.

“Dampak izin lingkungan tidak selalu langsung dirasakan masyarakat. Karena itu, perhitungan 90 hari semestinya dilihat dari kapan masyarakat benar-benar mengetahui dan merasakan dampak negatif dari izin tersebut,” jelasnya.

Rico mengungkapkan, tindakan pemerintah berupa pencabutan izin, pembongkaran, hingga perintah pemulihan lingkungan dapat dilakukan selama memenuhi prinsip proporsionalitas dan selaras dengan tujuan hukum. Ia menyoroti lemahnya proses evaluasi perizinan yang berdampak pada tantangan pengawasan di tingkat daerah.Rico juga mengingatkan potensi persoalan dalam perizinan berbasis peta digital yang kerap tidak memiliki batas jelas sehingga membuka ruang ketidakakuratan bahkan pelanggaran norma. Bila terdapat pelanggaran norma, menurutnya, keabsahan keputusan administrasi layak dipertanyakan.

Rico menekankan bahwa transparansi merupakan prasyarat utama dalam proses perizinan. Minimnya keterbukaan, bahkan adanya manipulasi terhadap warga, merupakan bentuk pengabaian asas keterbukaan dan dapat menggerus legitimasi izin.

“Resistensi warga tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah konflik dan akumulasi persoalan yang mereka alami. Bila jalur administratif tidak efektif, maka gugatan menjadi pilihan yang logis,” tegasnya.

Sementara itu, Wahyu Yusantoso menjelaskan, izin bukan hanya memberi hak kepada pelaku usaha untuk beroperasi, tetapi juga membebankan kewajiban hukum yang harus dipenuhi. Ia merujuk pada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengharuskan setiap kegiatan usaha memiliki dokumen AMDAL atau UKL-UPL serta melaporkan pelaksanaannya kepada pemerintah.

“Negara bertanggung jawab memastikan kegiatan usaha tidak merugikan lingkungan, sementara pelaku usaha berkewajiban bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan. Dua prinsip ini tidak bisa dipisahkan,” tuturnya.

Wahyu menambahkan, izin lingkungan merupakan instrumen perlindungan hukum bagi pengusaha sekaligus alat kontrol bagi negara. Karena itu, kepatuhan terhadap kewajiban dalam izin menjadi kunci agar pengawasan berjalan efektif. (ukt)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button