Ekonomi BisnisOpini

Presiden Pilihan Generasi Z

Siapa nyana, Gen Z alias anak-anak muda jago bikin konten viral yang orang-orang tua tahunya mereka hanya bisa scroll up dan scroll down medsos seharian, mumpuni di bidang IT sampai rebahan pun depan laptop, dan kreatifnya kadang sungguh di luar maklum, ternyata sebagian besar melek politik lho.

Hasil survei tim Riset dan Analitik Kompas Gramedia Media bersama dengan Litbang Kompas menunjukkan tingginya antusiasme kaum milenial (lahir tahun 1981-1996) dan generasi Z (lahir tahun 1997-2012) untuk mengikuti Pemilu 2024. Sebanyak 86,7 persen menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam pemilu. Sementara 10,7 persen masih menimbang dan 2,6 persen lainnya menolak mengikuti ajang elektoral tersebut.

Survei menggunakan telepon dilakukan terhadap 3.224 responden berusia 17-40 tahun yang tersebar di 80 daerah pemilihan (dapil) pada 5 Januari-9 Februari 2022. Sampel diambil dengan metode pencuplikan acak. Dengan metode ini, tingkat kepercayaan mencapai 95 persen, sedangkan margin of error lebih kurang 1,79 persen.

Baca juga Kegagapan Generasi X Menghadapi Generasi Z

Survei juga merekam sosok pemimpin yang diinginkan kaum milenial dan generasi Z. Di level nasional, mereka menginginkan presiden dengan tiga karakter utama, yakni tegas (24,7 persen), memahami kondisi negara (22,3 persen), dan merakyat (19,1 persen). Selain itu juga aksi nyata (11,1 persen), adil (10,6 persen), jujur (7,2 persen), bijaksana (7,2 persen), bijaksana (7,2 persen), dan bertanggung jawab (6,8 persen).

Sementara itu di daerah, karakter utama kepala daerah yang diinginkan itu adalah merakyat (26 persen), jujur (24 persen), dan tegas (17 persen), agak berbeda dengan figur presiden ideal.

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes mengatakan, pemilihan umum atau Pemilu 2024 mendatang akan didominasi oleh kaum generasi Z dan milenial yang rentang usianya 17-39 tahun mendekati 60% berdasarkan periode survei pada 8-13 Agustus 2022.

Baca juga Verifikasi Partai Politik Pemilu 2024, Syarat Ini Wajib Terpenuhi

Berkaca dari Pemilu 2019, tingkat partisipasi pemilih dalam pemilihan presiden (pilpres) mencapai 81,97 persen; pemilihan anggota legislatif (pileg) mencapai 81,69 persen; dan pemilihan anggota DPD mencapai 82,15 persen.

Dapat dibayangkan, jika pemilih pada Pemilu 2024 nanti 60%-nya adalah milenilal (lahir antara Tahun 1980 – 1994) dan Gen Z (lahir antara Tahun 1995 – 2005) maka model komunikasi seperti apa yang harus dilancarkan partai politik (Parpol) untuk memenangkan hati mereka, sementara kita tahu aktivis partai politik masih didominasi generasi X (lahir antara Tahun 1965 -1979) bahkan mungkin baby boomers (lahir antara Tahun1944 -1964).

Partisipasi generasi muda dalam Pemilu 2024 sangat ditentukan oleh sosialisasi Parpol di masyarakat dan upaya tersebut akan tidak maksimal jika tokoh atau calon yang dihadirkan oleh parpol peserta Pemilu 2024 tidak bisa menarik perhatian generasi muda serta  isu kampanye yang diperjuangkan oleh parpol tidak relate dengan Gen Z. Jangan lupakan, pesan-pesan atau materi kepemiluan yang akan disampaikan perlu disiapkan lebih awal dan didesain sesuai konteks dan segmen pemilih

Semua partai berpotensi untuk mendapatkan suara dari grup ini, karena memenangkan hati milenial bukan berarti menyasar hanya mereka yang tinggal di perkotaan. Tapi semua anak muda yang punya internet akses dan media sosial. Populasi generasi Z ini, tidak hanya tumbuh dan berkembang di Jawa atau kota-kota besar. Mereka juga besar jumlahnya, dan hampir merata di seluruh Indonesia.

Survey Ilmiah LIPI menunjukkan bahwa 60,6% generasi Z mengakses berita terkait politik melalui media sosial. Jadi asumsi bahwa partai politik dengan penguasaan konten media sosial yang baik berpotensi untuk menang. Berbeda dengan negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), sistem dan budaya politik Indonesia lebih menekankan pada tokoh dan pemimpin daripada loyalitas kepada partai politik tertentu. sikap ini mungkin lebih terlihat di kalangan anak muda daripada masyarakat umum.

Sebuah studi tahun 2018 oleh ilmuwan politik Dirk Tomsa di La Trobe University, Australia, dan Charlotte Setijadi di Singapore Management University menunjukkan tren person-over-party ini mungkin disebabkan oleh peningkatan aktivisme politik “berpusat pada kepribadian” yang diprakarsai oleh kaum muda dalam dekade terakhir. Menggunakan Pilgub Jakarta 2012 yang melibatkan Jokowi (sekarang presiden) dan Ahok (mantan gubernur) sebagai titik awal studi, mereka mengamati munculnya kelompok-kelompok sukarelawan yang dipimpin oleh pemuda. Sepertinya ada bentuk baru gerakan pemuda yang lebih condong ke figur ketimbang partai.

Gerakan semacam ini mengambil alih fungsi partai politik seperti mobilisasi massa dan penggalangan dana. Selain itu, anak muda mungkin sudah bosan dengan tokoh politik veteran, mereka sekarang mungkin mencari kandidat dengan rekam jejak pelayanan publik yang baik, bukan sekadar popularitas. Parpol harus siaga, meski nama-nama yang muncul dalam survei sebagian besar adalah politisi muda, tidak menjamin mereka akan memperjuangkan agenda anak muda jika terpilih menjadi presiden.

Sebuah studi tahun 2020 dari University of Melbourne di Australia misalnya, berpendapat bahwa pemerintah Indonesia sejauh ini sebagian besar berfokus pada menuntut penduduk muda menjadi sukses sambil mengabaikan kesenjangan ekonomi, sosial dan politik yang luas di dalam kelompok itu. Wacana atau image yang sedang dibangun saat ini adalah anak muda memiliki peran besar sebagai agen perubahan, namun beberapa pihak melihatnya hanya sebagai permainan elit untuk menarik mereka sebagai pemilih.

Persoalan ini krusial, karena bisa jadi Gen Z berbalik arah menjadi apriori jika menyadari bahwa harapannya disia-siakan dan sekadar jadi objek kepentingan sesaat elit parpol semata. Pada bagian ini, keberadaan pemerintah menjadi penting dengan melayani lebih baik kebutuhan sosial, ekonomi dan politik kaum muda untuk membantu mencegah mereka menjadi apolitis. Orang-orang yang terlepas dari politik kemungkinan besar akan abstain dari pemungutan suara atau bahkan berpartisipasi dalam diskusi. Kita tidak boleh membiarkan generasi berikutnya menjadi apolitis karena di tangan mereka lah tampuk kejayaan negeri ini digenggam.

Selanjutnya, pemimpin seperti apa sih yang diinginkan anak muda?. Jika dirangkum kita akan dapati kriteria di bawah ini:

Presiden yang jujur dan transparan; Survei Tahunan Pembentuk Global Forum Ekonomi Dunia menemukan bahwa 57% generasi milenial memandang korupsi sebagai masalah paling serius yang mempengaruhi negara mereka saat ini. Presiden yang lebih terbuka kepada masyarakat umum tentang niat mereka, dan apa yang sebenarnya terjadi di balik layar. Inilah yang akan memenangkan kepercayaan dan suara mereka. Presiden yang mendengarkan aspirasi anak muda; yang tidak diabaikan oleh Pemerintah, bukan menghilang ketika dikunjungi di kantornya.

Seorang presiden yang akan memerangi perubahan iklim; hampir setengah dari semua milenial dalam sebuah studi  menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan tantangan global teratas. Sudah diketahui bahwa 97% ilmuwan setuju bahwa suhu global telah meningkat selama abad terakhir, dan 84% percaya manusia adalah penyebab dan mampu menawarkan solusi.

Seorang presiden yang fokus pada peningkatan ekonomi; banyak pemilih muda yang menganggur dan setengah menganggur di luar sana, para kandidat ini harus menganggap masalah ini lebih serius dan membawanya ke garis depan kampanye mereka.

Nah, para pengurus parpol, silakan bersiap menyambut Gen Z dalam pesta demokrasi 2024 esok.


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button