Amanat Bung Karno Untuk Angkatan Perang (TNI): Tidak Boleh Ikut-ikut Politik

Di tengah ramainya perbincangan tentang Rancangan Undang-undang (RUU) TNI yang saat ini telah disahkan oleh DPR, banyak pihak yang mengecam pengesahan RUU tersebut. Kecaman itu datang dari berbagai lini sektor mulai dari aktivis, dosen, guru besar, organisasi sipil dan masyarakat biasa.

Kecaman-kecaman dan desakan penolakan disahkannya RUU kontoversial yang dibahas secara ugal-ugalan tersebut lantaran RUU TNI dinilai sebagai langkah awal untuk menghidupkan “Dwifungsi TNI”. Jika dahulu saat zaman orde baru (Orba) namanya dwifungsi ABRI. RUU TNI dinilai akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia kembali ke rezim Neo Orba. Namun, penolakan tersebut tak didengar oleh DPR dan tepat pada hari ini mereka mengesahkan RUU TNI.
Saya hanya ingin kita semua merenungkan kembali atas amanat pidato Presiden Sukarno saat Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia 17 Agustus 1953. Dalam pidato tersebut Bung Karno dengan tegas mengatakan bahwa angkatan perang atau ABRI tidak boleh terjerumus dalam politik. Sejatinya tentara harus tetap berada pada ruhnya yakni menjaga kedaulatan negara, bukan berpolitik.
Dalam pidato tersebut, Bung Karno turut menyebut-nyebut peristiwa yang terjadi 17 Oktober 1952. Peristiwa itu kerap disebut sebagai kudeta kecil. Peristiwa ini memiliki latar belakang yang cukup panjang, namun dalam peristiwa tersebut tentara sempat mengarahkan moncong meriam ke arah Istana Negara dengan dalih mengamankan Sukarno dari demonstrasi mahasiswa. Hal ini salah satunya dipicu karena ada masalah di internal militer yang kala itu banyak sekali anggota militer menjadi pemimpin politik di tengah stabilitas politik tak kunjung reda.
“Demikianlah jadinya, kalau Angkatan Perang ikut-ikut politik! Padahal Angkatan Perang tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang- ambingkan oleh sesuatu politik. Angkatan Perang harus berjiwa, tetapi ia tidak boleh ikut-ikut politik,” inilah salah satu kutipan pidato Bung Karno saat 17 Agustus 1953.
Lihat juga Ini Petisi Tokoh dan Masyarakat Sipil Menolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI
Menurut Bung Karno tentara adalah alat kekuasaan negara, senjata negara yang harus tajam, ampuh, dan sakti yang tidak bergantung pada tangan yang memegangnya karena tentara adalah milik negara dan berada di genggaman negara. Diibaratkan seperti senjata Pasupati di cerita Mahabharata yang tetap sakti di tangan siapapun. Namun apabila Pasupati itu rusak, maka kesaktiannya akan hilang. Seseorang yang berada dalam tubuh angkatan perang harus dipersalahkan apabila ikut-ikutan berpolitik karena akan mendatangkan keretakan.
Demikian pula RUU TNI, tidak hanya akan kembali menghidupkan Dwifungsi ABRI tetapi juga akan turut serta memasukkan tentara untuk berpolitik. Upaya yang mengkhianati amanat reformasi ini sangat jelas akan melemahkan profesionalisme sebagai alat pertanahan negara. Karena sejatinya TNI dididik untuk berperang, bukan untuk mengisi jabatan-jabatan sipil.
RUU TNI adalah sebuah penegasan bahwa bangsa ini tidak pernah belajar dari masa lalu. Mungkin kata dungu, amnesia, dan lupa ingatan itulah kata-kata yang pantas untuk anggota parlemen yang membahas RUU TNI. Karena jutaan masyarakat Indonesia menjadi korban kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh tentara sejak masa orde lama hingga orde baru. Mengesahkan RUU TNI adalah pintu gerbang menuju pembungkaman demokrasi dan kebebasan, atau mungkin membuat lembaran baru pelanggaran HAM di masa depan.
Dengan telah disahkannya RUU TNI ini menegaskan bahwa tak ada oposisi sejati di parlemen maupun pemerintahan. Karena oposisi sejati hanyalah kekuatan rakyat semata. (***)