Opini

Banten Menuju Rezim Tanpa Korupsi, Apa Iya?

Akar penyebab korupsi adalah nafsu untuk hidup bermewah-mewah di kalangan berkuasa. AR.Ibn Kaldun

Tidak Korupsi! Tampak serius sekali slogan itu. Tapi, pikiran skeptis memenuhi ruang logika. Jangan-jangan cuma kiat membujuk pemilih belaka. Sekadar branding.

Adalah Andra Soni yang mengusung tagline itu. Calon Gubernur Banten ini berpasangan dengan Dimyati Natakusumah, mantan Bupati Pandeglang dua periode yang pernah kontroversial itu. Dengan memasang tagline tersebut dalam sejumlah alat peraga kampanye, pertanyaan muncul. Apakah berarti jika keduanya jadi Gubernur dan Wakil Gubernur, “kami tidak korupsi” atau hanya pernyataan ”tidak korupsi” saja, tanpa subjek. Pasca rekapitulasi perolehan suara Pemilihan Gubernur Banten tahun 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Banten, pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah, dipastikan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Banten terpilih periode 2024-2029.

Anggaplah asumi tagline tidak korupsi itu maksudnya adalah “kami tidak korupsi”, apakah hanya mengikat mereka berdua, lalu jajarannya tetap boleh korupsi?

Melihat latar belakang keduanya, Andra Soni adalah politisi Partai Gerindra yang pertama kali menjadi anggota DPRD Banten perode 2014-2019 dan terpilih kembali periode 2019-2024 sekaligus terpilih menjadi Ketua DPRD.

Bakat politik Andra ditemukan Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco yang menjadi penyokong utamanya pada Pemilihan Gubernur 2024 ini. Sufmi Dasco adalah anggota DPR RI tiga periode dan masih menjabat sampai hari ini. Bahkan politisi PDI Perjuangan yang juga anggota DPR RI, Bambang Wuryanto yang kerap dipanggil Bambang Pacul menyebut Sufmi Dasco sebagai ‘galahnya’ Andra Soni.

Lihat juga Sah! Andra-Dimyati Menangkan Pemilihan Gubernur Banten 2024

Dimyati Natakusumah, politisi gaek nan lihai. Pernah menjabat Bupati Pandeglang periode 2000-2005 dan periode 2005-2009. Dia pernah menjabat Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan yang menghantarkan dia dan istrinya Irna Narulita (sekarang Bpati Pandeglang) menjadi anggota DPR RI. Di Pemilu 2019, Dimyati loncat dari PPP ke Partai Keadilan Sejahtera dan terpilih menjadi anggota DPR. Pada Pemilihan Gubernur Banten tahun 2017, Dimyati pernah mencoba peruntungan mencalonkan diri melalui jalur perseorangan, namun gagal pada tahap verifikasi faktual syarat dukungan.

Dimyati pernah dituntut ke pengadilan dan menjadi terdakwa atas dugaan pemberian suap Rp 1,5 miliar kepada anggota DPRD Kabupaten Pandeglang periode 2004-2009 untuk memuluskan pinjaman Rp 200 miliar Pemkab Pandeglang dari Bank Jawa Barat. Namun, Pengadilan Negeri Pandeglang, memvonis bebas Dimyati.

Slogan tidak korupsi yang diusung Andra-Dimyati sangat perlu dihadap-hadapkan dengan jabatan strategis yang kelak diemban keduanya. Jabatan itu punya segunung godaan, tahta dan harta, seperti fee proyek, jatah proyek, hingga transaksi penempatan pejabat struktural. Sungguh sakti mandraguna jika yang bersangkutan mampu menampiknya atau selemah-lemah iman dia mampu berkata “saya tidak.”

Ingat, korupsi terjadi bukan hanya karena lemahnya iman dan tingginya godaan, melainkan juga karena ada kesempatan.

Jikalah benar tidak korupsi bukan sekadar slogan maka Andra punya tugas mulia untuk memberantas korupsi pada lingkup pemerintahan. Kelak Andra akan memimpin pemberantasan korupsi di pemerintahan tingkat provinsi.

Visi Misi

Untuk meyakinkan keseriusan niat tidak korupsinya Andra Soni dan Dimyati, mari tengok visi dan misi yang diusung keduanya saat mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.  Niat tidak korupsi masuk dalam salah satu visi Andra-Dimyati yang lengkapnya adalah Banten Maju Adil Merata Tidak Korupsi.

Terkait tidak korupsi, juga muncul pada dua point misi mereka yakni; Memperkokoh iman dan takwa melalui penguatan ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia melalui pendidikan anti korupsi serta moralitas etik yang luhur  dan misi Mendorong pertumbuhan ekonomi yang maju, adil dan merata di Provinsi Banten dengan meningkatkan PAD melalui penguatan pemerintahan tidak korupsi, industrialisasi dan investasi, mendorong kewirausahaan, dan mengembangkan industri kreatif dan pariwisata. Andra-Dimyati memiliki 5 misi untuk mencapai visinya tersebut dan diturunkan dalam 8 program serta 24 program turunan.

Dari 8 program Andra-Domyati hanya satu program Banten melayani  yang secara spesifik me nyebutkan tata kelola pemerintahan tidak korupsi dan sistem merit salam birokrasi. Bahkan, dalam program turunan yang berjumlah 24 program itu, tak satupun program turunan yang menyebut secara spesifik tentang tidak korupsi.

Pertanyaan yang harus diajukan adalah dengan cara apa Andra mengimplementasikan tidak korupsi dalam kepemimpinannya? Banyak referensi strategi implementasi tidak korupsi yang bisa jadi panduan. Pemikiran Klitgaard dalam bukunya Membasmi Korupsi (terjemahan dari buku Controlling Corruption) salah satunya. Klitgaard berfokus pada praktik korupsi di pemerintahan mengungkap banyak fakta tentang bentuk, modus, dan aktor praktik korupsi, berikut bagaimana menyusun strategi pemberantasannya.

Upaya menghadirkan kebijakan anti-korupsi hampir dipastikan akan mendapat perlawanan dari kelompok atau perorangan yang selama ini mendapat keuntungan dari praktik korupsi yang selama ini terjadi. Klitgaard mencotohkan langkah salah satu pimpinan Biro Penerimaan Dalam Negeri di Philipina (seorang Hakim Agung bernama Efren Plana yang ditunjuk Presiden Marcos menjadi Dirjen Pajak Pendapatan) untuk menilai korupsi yang pertama adalah dengan belajar sebanyak mungkin mengenai lembaga/organisasi itu serta masalah-masalahnya. Kemudian, meminta nasihat kepada jajaran puncak di Biro itu, baik secara kelompok maupun perorangan.

“Anda tak mungkin sekadar merangsek masuk ke sebuah kantor dan membabat habis apa yang ada di sana seolaholah anda adalah ksatria yang menggunakan baju besi berkilauan dan menganggap setiap orang adalah bajingan,” tulis Klitgaard mengutip pernyataan Plana.

Klitgaard juga menuliskan langkah selanjutnya yang dilakukan Plana adalah meminta laporan tertulis masing-masing kepala deartemennya untuk menerangkan dengan rngkas fungsi-fungsi departemennya, menggariskan masalah-masalahnya, dan mengusulkan pemecahan masalahnya. Yang membuat terkejut, tak satupun dalam laporan itu yang  menyebutkan masalah korupsi. Lagkah selanjutnya adalah berbicara dengan sejumlah orang, mulai dari pejabat-pejabat di dalam lembaga/organisasi, pengusaha-pengusaha,  warga biasa, dan pegawao=pegawai dari lembaga lain yang tujuannya untuk menemukan di mana korupsi itu kiranya terjadi.

Usaha lainnya adalah menemukan mana pejabatpejabat senior yang dikenal tahan godaan korupsi dan memberikakn tugas istimewa kepada mereka untuk melaporkan berbagai tuduhan korupsi.

Klitgaard menggolongkan lima langkah kebijakan anti-korupsi sebagai awal yakni, memilih pegawai yang tahan godaan korupsi maupun yang memiliki kecakapan teknis, mengubah imbalan serta hukuman yang dihadapi pegawai maupun kliennya, mengefektifkan aturan hukum gar tindakan korupsi segera dapat dideteksi dan dihukum, mengubah misi atau sistem administrasi organisasi agar kekuasaan pegawai dikurangi, dan mengubah sikap-sikap pegawai terhadap korupsi.

Menurut Klitgaard, meretas budaya korupsi, mempunyai dua bidang kerja yang paling berkaitan; pertama, bagaimana mengacaukan iklim kepercayaan serta keyakinan yang memungkinkan berlangsungnya transaksi-transaksi korup, karena korupsi memang beroperasi secara tertutup, rahasia dan mengandalkan kepercayaan tidak akan bocor keluar.

Kedua, melawan sinisme publik, karena kata-kata sudah terlampau murah, langkah pertama yang pas adalah menangkap ikan besar (koruptor kelas kakap). Dalam budaya korupsi, ikan teri yang terlihat korupsi, hanya sedikit pengaruhnya, tapi jika keseriusan memberantas korupsi itu ditunjukkan melalui apa yang disebut Klitgaard “dengan menggoreng ikan besar di depan umum” yang diikuti dengan pengumuman perubahan-perubahan kebijakan untuk melawan korupsi, maka mau tidak mau akan berpengaruh besar terhadap sikap masyarakat terhadap korupsi.

Langkah-langkah ini perlu dipikirkan oleh Andra dan Dimyati, tentu dengan seksama serta berupaya mengenali bentuk-bentuk korupsi dengan mejawab pertanyaan atas gejala umum praktik koruptif yang kerap menjadi isu. Apakah menerima fee proyek APBD tergolong korupsi? Apakah menitipkan pejabat untuk menduduki satu jabatan tertentu dan mendapat keuntungan darinya adalah korupsi?  Apakah menerima pejabat yang menerima uang sebelum proyek dikerjakan oleh kontraktor adalah korupsi? Mengubah peruntukan lokasi tanah untuk keuntungan pribadi pejabat aakah tergolong korupsi? Apakah praktik  korupsi terjadi sudah merupakan sindikasi? Melihat pengalaman keduanya, dua pertanyaan awal itu akan dengan mudah dijawab.

Strategi Anti-korupsi

Secara spesifik sejumlah strategi pemberantasan korupsi perlu dirumuskan oleh Andra Soni agar kebijakan anti-korupsinya lebih terarah dan efektif. Buku yang ditulis Klitgaard bersama Ronald Mclean yang mantan Walikota La Paz, Bolivia berjudul Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah (terjemahan buku Corrupt Cities. A Protica! Guide to Core and Prevention) bisa menjadi panduan.

Strategi anti-korupsi harus berfokus pada sistem yang korup, bukan hanya pada manusia yang korup. Artinya, bicara korupsi jangan hanya fokus pada perilaku manusia tidak bermoral, namun wajib juga berfokus pada sistem yang mudah dihinggapi perilaku korup.

Klitgaard dan kawan-kawan juga membuat rumus korupsi, yakni C = M + D – A yang artinya, korupsi (C) sama dengan monopoli (M) ditambah kewenangan (D) minus akuntabilitas (A). Ilustrasinya, jika seseorang memegang monopoli atas suata barang dan jasa dan memiliki kewenangan untuk memutuskan siapa yang berhak mendapat barang atau jasa itu dan berapa banyak, dan tidak ada akuntabilitas (dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang diputuskan oleh orang yang memiliki wewenang itu) maka kemungkinan besar akan kita temukan korupsi di situ.

Formulasi di atas adalah rumus sederhana untuk menemukenali potensi korupsi di pemerintahan yang aturannya benyak memberi kewenangan lebih kepada pejabatnya. Posisi Gubernur misalnya, adalah penentu dari banyak kebijakan yang menyangkut hajat hidup banyak orang pula, sehingga potensi korupsi melingkupinya. Jadi, jika benar tagline itu akan diimplentasikan maka hendaknya memulai dari lingkaran Gubernur lalu seperti dicontohkan Klitgaard, membentuk tim yang ditugasi mengidentifikasi potensi-potensi tindakan koruptif pada tiap organisasi perangkat daerah. Meski demikian, Klitgaard dalam sejumlah analisisnya mengingatkan, karena pemberantasan korupsi membutuhkan biaya yang tinggi maka strategi yang dipiih harus benar-benar efektif dan efisien.

Strategi anti-korupsi jangan dimulai atau diakhiri dengan imbauan-imbauan mengenai ietika atau mengenai perlunya mengembangjan suatu sikap baru, melainkan harus menggali cara-cara untuk mengurangi kekuasaan monopoli pejabat, menjelaskan dan membatasai kewenangan, dan meninggkatkan keterbukaan.

Pemerintah daerah, seperti diingatkan Pope dalam bukunya Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional (Confronting Corruption : The Elements of National Integrity System) untuk bisa meningkatkan taraf hidup warga masyarakat dan mengembangkan kepercayaan masyarakat kepad apemerintah maka harus jujur, transparan, dan efektif. Karenanya penting sekali untuk memberantas korupsi dan mengembahkan transparansi serta tanggung gugat. Cara terbaik untuk memberantas korupsi adalah membangun koalisi dan melibatkan pemerintah, sector swasta, dan masyarakat sipil dalam kegiatan anti-korupsi. (***)

Penulis adalah warga Banten tinggal di Kota Serang.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button