Opini

Kinerja dan Manfaat DPD, Apakah Sudah Terasa?

Pasca dilakukannya amandemen ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada tahun 2001, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI muncul sebagai lembaga tinggi negara di dalam sistem ketatanegaraan kita. Namun barulah pada tahun 2004 DPD RI dibentuk tepatnya pada tanggal 1 Oktober 2004 sebanyak 128 anggota DPD terpilih hasil dari Pemilihan Umum Tahun 2004 dilantik serta diambil sumpahnya. Hingga kini, berarti usia lembaga ini sudah hampir 17 tahun. Berbagai evaluasi muncul pada lembaga DPD ini, baik akademisi, politisi, unsur masyarakat sipil, serta pihak pihak lainnya. Suara-suara evaluatif tersebut diantaranya menyoal tentang kinerja dan manfaat nyata yang dirasakan oleh masyarakat terkait keberadaan DPD, bahkan ada beberapa suara yang lantang mengusulkan untuk membubarkan DPD RI.

Yang terbaru adalah beberapa bulan lalu ada dinamika politik di internal DPD yaitu ada mosi yang meminta pergantian salah satu wakil pimpinan DPD pada sidang paripurna ke-13 DPD dengan agenda pidato penutupan pada akhir masa sidang V tahun sidang 2021-2022. Di tahun-tahun sebelumnya banyak terjadi dinamika internal terkait perebutan kekuasaan di dalam DPD bahkan sempat ramai isu terkait keanggotaan parpol bagi anggota DPD.

Baca juga Daftar Anggota DPD Asal Banten, Ada yang Kamu Kenal?

Berbagai kritik dan evaluasi di atas tentu bukan tanpa alasan yang jelas. Selain produk regulasi yang masih bisa dibilang minim dan kurang “greget”, aroma kepentingan partai politik juga sangat kentara di dalam DPD. Bagaimana tidak, saat ini sesungguhnya sangat banyak anggota DPD yang sebetulnya anggota parpol, mantan politisi atau DPD bisa diibaratkan sebagai tempat peristirahatan bagi politisi dari DPR dan juga bisa diibaratkan DPD sebagai batu loncatan bagi seseorang untuk berkancah lebih maju nanti sebagai anggota DPR. Secara kontitusi terbaru memang soal keanggotaan partai politik bagi Anggota DPD memang sah-sah saja dan diperbolehkan akan tetapi hal ini tentu akan menjadikan hambatan tersendiri bagi DPD sebagai kamar kedua dalam parlemen, yaitu untuk menciptakan saling kontrol di dalam parlemen kita. DPD bisa saja dikatakan sudah dibajak oleh Parpol sehingga independensinya sebagai corong suara-suara murni dari daerah diragukan.

Jika kita perhatikan portal media sosial resmi DPD RI, saat ini dirasa kental sekali akan aroma kampanye dari pimpinan DPD. Akun media sosial resmi lembaga negara seolah-olah seperti akun pribadi yang sedang ingin meningkatkan citra diri dari seorang pimpinan DPD. Belum lagi bertebarannya baligho berbagai ukuran yang mencitrakan foto diri pimpinan DPD RI di seantero Republik ini. Tentu hal hal kampanye citra diri ini sangat tidak penting bagi masyarakat kita, yang terpenting adalah bagaimana DPD dapat menyuarakan suara-suara dari daerah dan dapat berkontribusi banyak dalam proses legislasi di parlemen. Kejadian ini tentunya lebih bersifat politis yang tidak ada kaitannya sedikitpun dengan kepentingan masyarakat daerah yang diwakili. Langkah langkah yang mengarah kepada politik inilah yang membuat DPD sekarang semakin tidak jelas kebermanfaatannya di mata masyarakat  di daerah.

Baca juga Anggota DPD RI Harus Pintar dan Cerdas, Tugasnya Berat

Selain itu, dilihat dari aspek kewenangan, kenyataanya memang kewenangan DPD benar-benar lemah. Berdasarkan pasal 22D ayat 1 UUD 1945 memang memberikan hak kepada DPD untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, meskipun pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 79/PUU-XII/2014, tanggal 22 September 2015 telah menegaskan kembali wewenang DPD terkait dengan pembahasan RUU dalam UU MD3 Tahun 2014 tapi tetap saja pada ujungnya DPD tidak punya kewenangan untuk memutuskan dan hanya sebatas ikut membahas RUU saja.

DPD memang lahir dari semangat reformasi yang merubah sistem politik Indonesia secara fundamental dari sistem otoritarian menjadi sistem yang demokratis, juga dari sistem yang sangat sentralistik menjadi desentralistik. Awalnya kehadiran DPD cukup membangkitkan semangat dan harapan masyarakat di daerah bahwa kepentingan serta aspirasi dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Tidak seperti pada masa orde baru , selama hampir 50 tahun dominasi pemerintah pusat atas daerah sangat kuat terutama di bidang ekonomi dan politik. Konsep lembaga perwakilan di Indonesia yang awalnya sedikit unik karena adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang memiliki kewenangan dan fungsi “super” tetapi tidak bekerja sehari-hari karena ada DPR yang memegang legislatif rutin sehari-hari. Sejak adanya DPD, konsep perwakilan rakyat di Indonesia berubah menjadi parlemen dua kamar (bikameral), yang mana selain DPR ada juga DPD sebagai lembaga legislatif meskipun MPR tetap sebagai lembaga tersendiri yang seakan-akan menandakan sebenarnya ada tiga lembaga perwakilan di Indonesia.

Dalam buku Panduan Dalam Memasyarakatkan UUD 1945 yang diterbitkan oleh Sekjen MPR, menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah merupakan penyalur aspirasi daerah. Sistem perwakilan yang dianut merupakan sistem khas Indonesia sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan serta tantangan bangsa Indonesia. Akan tetapi, jika dengan seksama kita dalami sistem bikameral yang sedang kita jalankan bersamaan dengan sistem presidensil, maka sepertinya sistem bikameral ini lebih cocok jika dijalankan bersamaan jika kita menganut sistem parlementer. Bahkan I Wayan Sudirta mengatakan bahwa berdasarkan kewenangan yang DPD miliki sekarang, DPD tidak dapat disebut sebagai majelis tinggi melainkan hanya suatu “badan pertimbangan” (advisory body) karena bahkan dalam area hal mana DPD dapat memberikan pertimbangan (advice) pun juga dibatasi.

Untuk mengatasi berbagai masalah diatas, maka sebaiknya dipikirkan ulang perihal bolehnya anggota partai politik menjadi anggota DPD. Meskipun sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan anggota parpol menjadi anggota DPD, tetapi langkah kebih baiknya para senator kita itu lebih independen dari politik dan lebih fokus memperjuangkan aspirasi daerahnya masing-masing agar tidak terjadi disorientasi anggota DPD yang mana bisa saja para senator kita itu sudah tidak lagi murni mewakili daerahnya.

Jika memang melakukan Amandemen UUD 1945 untuk memperkuat kedudukan dan kewenangan DPD sangat sulit jika melihat situasi politik saat ini, maka sebaiknya DPD tetap fokus dan bekerja optimal meskipun kewenanganya terbatas, tetapi  jika anggota DPD bekerja dengan baik maka dengan sendirinya akan mendapatkan legitimasi dan dukungan yang kuat dari masyarakat. Optimisme dan kerja keras anggota DPD harus tetap terpelihara dalam benak anggota DPD dengan melibatkan publik dalam dinamika hubungan pusat dengan daerah.

Dengan demikian, jika para anggota DPD sudah bersih dari kepentingan partai politik dan tetap menunjukan kinerja yang baik, maka diharapkan dengan legitimasi yang muncul otomatis dari masyarakat akan semakin menguatkan peran DPD dengan sendirinya di Parlemen. Fungsi checks and balances yang dimiliki DPD di parlemen akan sangat berguna dan terasa oleh masyarakat. Harapan itu pun dapat benar-benar terwujud jika memang DPD itu sendiri mau dan mampu untuk benar-benar berguna dan terasa manfaatnya oleh masyarakat. (*)


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button