Opini

Klausula Baku dan Perlindungan Konsumen

Saat membeli barang di sebuah toko tertentu, kita masih sering menemukan pengumuman “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.” Dengan pengumuman ini, pembeli seperti kena ‘ulti’ dari pelaku usaha yang membuat pembeli atau konsumen nyaris tak berdaya.

Pada keadaan lain, misalnya saat kita masuk kawasan parkir dan mendapati pernyataan dalam tiket parkir berbunyi, “Pihak pengelola (parkir) tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan, kerusakan, kecelakaan atas kendaraan ataupun kehilangan barang-barang yang terdapat di dalam kendaraan dan/atau yang menimpa orang yang menggunakan area parkir pihak pengelola (parkir), tentu tidak adil rasanya. Sebagai konsumen dan pelaku usaha yang terikat perjanjian seharusnya menegakkan hak dan kewajibannya masing-masing, bukan saling lempar tanggung jawab atau bahkan mengalihkan tanggung jawab kepada pihak lain.

Kedua pernyataan yang bersifat sepihak di atas, disebut sebagai klausula baku yang sering muncul dalam suatu perjanjian. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Intinya, pelaku usaha telah menyiapkan perjanjian standar dengan ketentuan umum dan konsumen hanya memiliki 2 pilihan, yaitu menyetujui atau menolaknya.

Apakah  klausula baku diperbolehkan? Aturan sepihak (klausula baku) yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli, tidak boleh merugikan konsumen.

Namun harus dipahami, yang dilarang bukanlah perjanjian standarnya, melainkan adanya klausula baku dalam perjanjian yang dilarang menurut UU Perlindungan Konsumen. Biasanya, ketentuan yang dicantumkan tersebut bermaksud membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada atau ditanggung oleh pelaku usaha. Jadi, terlihat adanya ketidakseimbangan posisi tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (pasal 1313). Dalam buku Perjanjian Baku (masalah dan solusi), Johannes dan Bernadette menilai terdapat sejumlah kelemahan dalam definsi perjanjian versi KHU Perdata, yakni, bahwa kata ‘perbuatan’ menujuk pula pada perbuatan melanggar hukum dan perbuatan tidak melanggar hukum. Seharusnya kata ‘perbuatan’ diganti dengan kata ‘persetujuan’ dan ‘kesepakatan’.  Kata ‘orang’ pada definisi di atas juga hanya menujuk  pada manusia sebagai subjek hukum, padahal selain manusia, terdapat ‘badan hukum’ yang termasuk subyek hukum yang dapat membuat suatu perjanjian. Kemudian, kata ‘mengikatkan’ diartikan sebagai kehendakmengikatkan hanya berasal dari satu pihak, seharusnya kata itu diganti dengan frasa ‘saling mengikatkan diri’ yang berarti terjadi konsensus antar-para pihak.

Lihat juga BPSK : Melindungi Konsumen, Menjaga Pelaku Usaha

KUH Perdata mengatur, suatu perjanjian dinyatakan sah adalah jika memenuhi syarat objektif sebagaimana diatur Pasal 1320 bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu pokok persoalan tertentu, (4) suatu sebab yang tidak terlarang.

Masih telaah kritis atas definsi perjanjian, Johannes dan Bernadette menyatakan, pasal 1313 KUH Perdata tidak mencatumkan tujuan dibuatnya perjanjian. Harusnya disebutkan tujuan perjanjian tersebut yaitu menimbulkan perikatan antara para pihak yang membuat perjanjian. Berdasarkan telaah tersebut, perjanjian didefinsikan sebagai kesepakatan antara dua atau lebih pihakyang saling mengikatkan diri sehingga timbul perikatan antara para pihak. Perikatan, dalam praktik hukum perdata, merupakan hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang terikat. Hak dan kwajiban tersebut berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Perikatan ada yang timbul karena perjanjian dan karena undang-undang.

Di sisi lain, dalam praktik perdata juga dikenal perjanjian baku. Undang-Undang Perlindungan Konsumen menegaskan aturan mengenai larangan perjanjian baku. Yaitu, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;dan menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.

Juga dilarang menerapkan klausula yang  menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; serta memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.

Dilarang pula mencantumkan pernyataan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya dan menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Undang-undang juga melarang pencantuman klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Jika pelaku usaha ngotot menerapkan klausula baku pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan di atas maka dinyatakan batal demi hukum.

Sidharta, dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, menjelaskan teori due care yang menerangkan bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produknya. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Untuk dapat mempersalahkan pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut melanggar prinsip kehati-hatian. Dalam hal ini yang aktif membuktikan kesalahan pelaku usaha adalah konsumen sedangkan pelaku usaha hanya bersifat pasif

Dalam teori ini menggambarkan bahwa kewajiban para pelaku bisnis terhadap konsumen didasari pada gagasan bahwa konsumen dan pelaku bisnis atau penjual tidak berada dalam kondisi equal. Dalam kondisi ini kepentingan konsumen secara khusus sangat rentan untuk disalahgunakan oleh para pelaku bisnis atau penjual.

Di satu pihak para penjual memiliki pengetahuan dan keahlian mengenai produk yang akan mereka beli. Oleh karena para pelaku ekonomi berada dalam posisi yang menguntungkan, mereka memiliki kewajiban untuk memberikan perhatian yang khusus untuk menjamin kepentingan konsumen untuk tidak disalahgunakan. Konsumen sangat bergantung pada keahlian para pelaku bisnis atau penjual. Para pelaku bisnis atau penjual tidak hanya memiliki kewajiban untuk menyampaikan produk mereka kepada konsumen, tetapi mereka juga harus melaksanakan perhatian yang semestinya (to exercise due care).

Contoh perjanjian baku lazim sekali dipergunakan, padahal Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen telah tegas melarang adanya klausul pengalihan tanggung jawab. Secara hukum, klausul tersebut batal demi hukum. Tak hanya itu, bagi pelaku usaha yang melanggar, dapat dikenakan sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar.

Berdasarkan doktrin ketidakadilan (unconscionability), apabila klausula dalam suatu perjanjian tidak adil dan merugikan salah satu pihak, maka harus dinyatakan batal. Menurut Munir Fuady, dalam buku Hukum Kontrak; Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis menyebutkan, doktrin ketidakadilan (unconscionability) merupakan suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan.

Pemahaman batal demi hukum (Null and Void) berarti dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada apabila syarat objektif dari syarat sahnya suatu perjanjian tidak dipenuhi. Sebagai akibat dari batal demi hukum terhadap klausula baku tersebut, maka walaupun pihak konsumen dan pelaku usaha sepakat dengan klausula baku tersebut, namun di hadapan hukum, klausula baku tersebut tidak sah.

Berkaitan dengan hal tersebut, Kartini Muljadi berpendapat bahwa “di samping tidak dipenuhinya syarat obyektif, tiap-tiap perbuatan hukum (terutama dalam perjanjian formil) yang mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang jika tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum, dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.”

Nah, hendaknya para pelaku usaha dalam mebuat suatu perjanjian benar-benar memperhatikan aspek keadilan bagi konsumen. Di sisi lain, konsumen yang biasanya baru sadar dirinya dirugikan setelah menandatangani kontrak, hendaknya tetap membaca dengan seksama pasal-pasal yang diperjanjikan. Seperti ditulis Arie Syantoso dkk, tanpa keadilan, maka akan terjadi eksploitasi manusia atas manusia. masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya. (***)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button