Opini

Perundungan Anak, Salah Siapa?

Perundungan Anak, Salah Siapa? Akhir-akhir ini, frekuensi ‘ingat anak’ saat saya di tempat kerja terasa makin meningkat. Rasanya tak sabar menanti jam kerja berakhir. Bahkan jika memungkinkan, ingin sekali saat jam pulang sekolah saya bisa menjemputnya.

Bisa jadi ini terjadi karena beberpa minggu belakangan ini anak saya seringkali bercerita tentang situasi di sekolah. Guru-gurunya, teman-temannya. Seperti ada sesuatu mengganjal yang rasanya harus say acari tahu lebih dalam tanpa anak saya merasa dia sedang dikuntit.

Pagi ini saya sempatkan membaca tulisan-tulisan yang berisi curhatan anak-anak korban bullying di berbagai daerah di Indonesia.  Usia mereka berkisar 7 hingga 17 tahun, sekira SD sampai SMA. Saya terhenyak, rupanya hampir seluruh anak pernah mengalami bullying. Entah itu terjadi di lingkungan sekolah bahkan ada juga yang menerima bully dari orang tua kandungnya di rumah.

Reaksi mereka atas pembullyan macam-macam. Dari yang merasa bisa mengatasinya sampai yang tak tahan dan ingin bunuh diri saja.

Perlindungan Anak

Pemerintah rupanya sudah membaca gelagat ini. Mereka sudah punya UU Perlindungan Anak dan yang terbaru adalah Permendikbud 46/2023 tentang Pencegahan Kekerasan di Lingkungan Sekolah, lengkap dengan petunjuk tenis dan petunjuk pelaksnaannya. Namun apakah seluruh aturan tersebut akan mampu mencegah terjadinya perundungan?.

Sebagai orang tua 2 (dua) anak dengan rentang usia 11 (sebelas) tahun saya kebetulan berada pada masa mengasuh yang lumayan berjarak agak lama. Dan apa yang saya temukan?, urusan perundungan ini sama saja hingga lebih dari 1 (satu) dekade ini, bahkan saya pikir lebih canggih dari tahun ke tahun.

Pernah dengar cerita, seorang anak kelas 3 (tiga) SD dibully habis-habisan oleh teman-temannya karena gadget dia bukan merek iphone. Cerita lain, seorangan anak depresi karena dibully di dalam permainan online. Dia ketakutan karena merasa dikejar-kejar dalam game tersebut karena memilih kostum yang dianggap aneh untuk tokoh pada game onlinenya.

Belum lagi cerita-cerita yang menurut saya absurd dan tidak masuk akal untuk jadi penyebab seorang anak dibully. Lebih tak masuk akal lagi adalah saat saya mengetahui bagaimana cara pelaku melakukan bully. Sungguh tak terbayangkan bisa dilakukan oleh anak sekolah. Ada yang meneriaki dengan kata-kata kasar, ada yang menonjok ulu hati hingga korban pingsan, bahkan ada yang menyebarkan berita bohong yang kejam melalui media sosial.

Akar masalah?

Adakah yang menyadari jika semua kasus perundungan anak yang makin marak saat ini adalah akibat dari perilaku orang tua?. Sungguh, saya sangat percaya, bahwa perilaku anak-anak kita adalah cerminan perilaku orang tuanya.

Dalam jurnal JSTOR, penelitian yang bertajuk Cognitive and Parenting Pathways in the Transmission of Antisocial Behavior from Parents to Adolescents, menyimpulkan bahwa perilaku antisosial pada anak muncul dari hasil observasi dan interpretasi dari perilaku orangtua.

Anak cenderung akan meniru perilaku orangtua karena menurut anak itu adalah hal yang normal dalam kehidupan sosial di luar rumah.

Efek ini berlangsung secara stabil atau tertanam di dalam benak si Kecil. Alhasil, ini merupakan awal mula terjadinya masalah, terutama pada remaja.

Seiring dengan bertambahnya usia, anak akan tergantung pada sifat orangtua dan mencontoh kebiasaan-kebiasaanya, termasuk cara bersikap, beretika, cara sopan santun, dan berkomunikasi dengan orang lain.

Dalam sebuah kisah diceritakan, Suatu hari, seseorang menghadap Khalifah Umar bin Khattab dengan membawa anak lelakinya.

Ia mengadukan betapa durhaka dan kurang ajar anaknya. Khalifah mendengar dengan seksama pengaduan orang tua itu.

Umar mengingatkan beberapa hak anak, seperti, memilihkan ibu si anak dari golongan baik-baik, memberi nama yang baik, memberi nafkah sepantasnya, mendidik dengan akhlak yang baik, dan mengajari ilmu untuk bekal hidupnya.

Seketika itu juga si anak menyahut uraian Umar. ”Tak satu pun dari hak-hak itu yang diberikan. Ibu saya itu tidak jelas asal-usulnya dan berperangai sangat buruk. Dari kecil saya dipaksa mencari nafkah dengan menggembala ternak, dan saban hari diberi contoh akhlak yang buruk, dengan pertengkaran yang tiada henti, perkataan yang kotor, dan tindak kekerasan.”

”Jangankan diajari ilmu, yang ada hanya dampratan dan perlakuan kasar. Dalam hatiku hanya ada dendam dan menunggu saat bisa membalasnya,” kata si anak.

”Apa benar demikian,” tanya Umar dengan wajah marah. ”Jika demikian, sungguh engkau telah merusak anakmu dengan tanganmu sendiri. Engkaulah yang pantas mendapat hukuman atas kesalahan ini,” tegasnya.

Saya ingatkan lagi puisi fenomenal sepanjang sejarah dari seorang pendidik dan ahli konseling keluarga bernama Dorothy Law Nolte, Ph.D asal Amerika Serikat dengan judul puisi “Children Learn What They Live” (Anak-anak Belajar dari Kehidupannya), yang isi puisinya seperti ini:

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.

Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.

Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.

Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Maka, makin terkonfirmasilah bahwa segala sikap buruk seorang anak adalah hasil dari contoh yang diberikan orang tuanya, dan bagaimana orang tua memperlakukan dirinya.

“Saya harus bilang sampai 5 (lima) kali untuk sampaikan bahwa saya lapar dan bertanya apakah mama memasak hari ini, karena saya lihat tak ada makanan di meja makan”, cerita seorang anak.

“Mama baru dongakan kepalanya dari handphone setelah kali ke-5 saya bilang”, lanjutnya. Maka jangan marahi jika anakmu baru akan mendengarmu saat kamu memanggilnya tepat diteriakan ke-5mu.

Pepatah mengatakan “Jangan mengkuatirkan bahwa anak-anak tidak mendengarkan nasehat Anda, kuatirkanlah bahwa mereka selalu mengamati dan mencontoh Anda. (*)

 

 

 


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button