Opini

Samar Sanksi Pelanggaran Kampanye di Kampus

 

Kampanye di kampus menjadi salah satu kegiatan kampanye yang dibolehkan setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan norma baru terkait kampanye pemilihan umum, pasca-judicial review atas pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Ihwal wacana diperbolehkannya kampanye Pemilu 2024 di dalam kampus diutarakan Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dalam sebuah kesempatan usai menghadiri Sarasehan Kebangsaan di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, 22 Juli 2022 silam.

Padahal, aturan yang sama juga digunakan pada Pemilu 2019, namun tidak ada pendapat hukum dari internal KPU RI seperti yang diwacanakan Hasyim, walau saat itu Hasyim juga menjabat sebagai anggota KPU RI periode 2018-2023.

“Boleh saja. Mahasiswa pemilih, dosen pemilih. Kenapa kampanye di kampus tidak boleh? Mestinya boleh,” kata Hasyim, seperti dikutip liputan6.com, 22 Juli 2022.

Hasyim pun mengungkapkan sejumlah argumentasi dari pendapatnya itu. Kampanye di lingkungan kampus boleh dilakukan selama memberikan ruang yang sama bagi peserta pemilu lain.

Hasyim juga menyebut masyarakat Indonesia cukup cerdas untuk melihat adanya unsur kampanye atau tidak pada saat peserta Pemilu melakukan kunjungan kerja. Kampanye merupakan sarana untuk mempengaruhi seseorang untuk memilih.

Lihat juga Argumentasi Hasyim lainnya adalah kampus merupakan tempat pengembangan keilmuan, teknologi, dan inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh partai politik untuk merumuskan sejumlah kebijakan inovatif demi pembangunan Indonesia.

Pernyataan Hasyim itu mendapat reaksi pro dan kontra dari sejumlah kalangan. Hasyim kemudian memberikan penjelasan hukum perihal pendapatnya dengan menyebut aturan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dilarang dalam berkampanye adalah penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Menurutnya yang dilarang adalah fasilitasnya, bukan kampanyenya.

Didukung Parpol

Gayung bersambut, pengurus beberapa partai politik menyatakan setuju jika bisa berkampanye di kampus. Partai Demokrat adalah satau satu parpol pertama yang menyatakan setuju.

“Kita menyambut baik jika kampanye politik bisa dilakukan di kampus. Kami meyakini ini akan berkontribusi pada peningkatan derajat dan kualitas demokrasi. Karena diskursus politik yang terjadi akan semakin berbasis dan memperkuat konsep, ide, dan gagasan,” kata Deputi Bappilu DPP Demokrat Kamhar Lakumani, seperti dikutip liputan6.com, Jumat 22 Juli 2022.

Kemudian, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi menyatakan setuju kampanye boleh dilakukan di kampus. Viva mendukung KPU agar partai politik, calon legislatif, hingga pasangan calon presiden-wakil presiden bisa berkampanye di kampus.

“Partai politik, calon legislatif, atau pasangan calon presiden/wakil presiden untuk dapat berkampanye di kampus atau lembaga pendidikan, dengan merujuk pada Pasal 280 Ayat 1 (h) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ujar Viva dalam keterangannya, Senin (25/7/2022), dikutip dari liputan6.com.

Lihat juga Belum Ada Aturan Khusus Sanksi Pelanggar Ketentuan Kampanye di Kampus

Pasal 280 ayat 1 huruf h berbunyi “Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang (h) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan”.

Sedangkan pada penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h menyatakan, “Fasilitas pemerintah, tempat Ibadah, dan tempat Pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.

Kontradiksi antara pasal dan penjelasannya inilah menjadi celah digugatnya pasal tentang larangan kampanye ini.

Gugatan ke MK

Adalah Handrey Mantiri dan Ong Yenni yang megajukan permohonan dengan nomor perkara 65/PUU-XXI/2023 untuk menguji penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu.

Singkat cerita, MK mengabulkan gugatan Handrey Mantiri dan Ong Yenni. Putusan MK, Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 menjadi pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dapat menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye”.

“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi, saat mengucapkan amar Putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023.

MK dalam amar putusan tersebut juga menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu sepanjang frasa ”Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selain itu, MK menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.

Dari frasa terbaru itu, maka ada dua syarat untuk dapat berkampanye di tempat pendidikan, yakni, izin dari penanggung jawab tampat dan hadir tanpa atribut.

Sebagai tindak lanjut putusan MK itu, KPU RI lantas menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2023 sebagai revisi dari Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu 2024.

Dalam PKPU terbaru yang mengatur pelaksanaan Kampanye Pemilu itu terdapat tambahan sejumlah pasal tentang penyelenggaraan kampanye yang menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan.

PKPU 20 Tahun 20223 tentang Kampanye Pemilu, Pasal 72 ayat 1 Pelaksana Kampanye Pemilu, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang:

(h), “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut Kampanye Pemilu”.

Selain perubahan pada pasal 72 ayat1 huruf h yang memuat perubahan pasal 280 ayat 1 sesuai putusan MK, KPU RI mempersempit definisi “sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat” dengan frasa “sepanjang tidak mengakibatkan terganggu fungsi atau peruntukannya, serta tidak melibatkan anak” (pasal 72 ayat 1a).

Berdasarkan definisi itu kemudian KPU mengatur batasan waktu kampanye menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan dengan ketentuan “dilaksanakan pada Hari Sabtu dan/atau Hari Minggu” (pasal 72A, ayat 5), tentu saja ini semakin mempersempit definisi yang dimaksudkan MK.

Seharusnya cukup saja KPU mengatur ‘sepanjang ada izin dari penanggung jawab fasilitas pemerintahan dan tempat pendidikan”. Perkara kapan dan pertimbangan tidak mengganggu fungsi dan peruntukan adalah masalah internal penaggung jawab fasilitas dan tempat.

Samar Sanksi

Terkait penanggung jawab pengalola tempat pendidikan, KPU menentukan, mereka adalah rektor pada universitas dan institute, ketua pada sekolah tinggi; dan direktur pada politeknik, akademi, dan akademi komunitas.

Selain itu, ditegaskan juga aturan bahwa penanggung jawab fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan dalam memberikan izin kegiatan Kampanye Pemilu harus menerapkan prinsip adil, terbuka, dan proporsional, serta tidak berpihak kepada salah satu Peserta Pemilu (PKPU 20 Tahun 2023, pasal 72B ayat 2).

Pertanyaannya, jika penanggung jawab tempat itu tidak menerapkan prinsip adil, terbuka, dan proporsional, serta tidak berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, apa sanksinya?

Tidak ada satupun peraturan perundangan terkait penyelenggaraan Pemilu yang mengatur sanksi pelanggaran pasal ini. Tidak di Undang-undang 7 Tahun 2017 apalagi Peraturan KPU. Terdapat kekosongan hukum terkait sanksi ini.

Satu-satunya pasal yang relate dengan kondisi di atas adalah Pasal 282 dalam UU 7 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa kampanye.

Itupun jika sikap “tidak menerapkan prinsip adil, terbuka, dan proporsional, serta tidak berpihak kepada salah satu peserta Pemilu”, dianggap memenuhi unsur  “keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa kampanye”, seperti dalam pasal 282 tersebut. Karenanya, penentuan pemenuhan unusur ini pasti sangat debatable  bahkan berpotensi lolos dari jeratan sanksi.

Ditambah, tidak ada satupun pasal sanksi, baik administrasi maupun pidana, dalam undang-undang, jika ketentuan kampanye di kampus itu dilanggar oleh Rektor, Direktur, Ketua atau sebutan lainnya bagi pimpinan perguruan tinggi.

Barangkali, Pasal 490 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang dimaksudkan sebagai ketentuan pidana atas pelanggaran pada pasal 282. Namun, ternyata subjek hukumnya sebagian menghilang dan menyisakan hanya untuk kepala desa saja.

Bunyi pasal 490 adalah setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Subjek hukum yang hilang dalam pasal ini, jika merunut pada pasal 282 adalah, pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri.

Kasus Gibran

Contoh terkini, meski pasal yang dikenakan berbeda, kasus Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka yang mengajak warga mendukung dan memilih PDIP serta Ganjar Pranowo adalah hal konkret pelanggaran tanpa sanksi.

Dikutip dari www.metrotvnews.com, Anggota Bawaslu Lolly Suhenty menegaskan tindakan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka dan Wali Kota Medan Bobby Nasution yang mengajak memilih bakal capres Ganjar Pranowo dalam sebuah video terbukti telah melanggar Pasal 283 Undang-Undang Pemilu. Meski demikian, Bawaslu menyatakan tak bisa memberikan sanksi kepada keduanya.

Dari Kompas.com, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Totok Hariyono mengatakan, video kepala daerah kader PDI-P yang mengajak memilih bakal calon presiden (capres) Ganjar Pranowo melanggar Pasal 283 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Akan tetapi, Bawaslu tidak akan memberikan sanksi apa pun kepada sejumlah kepala daerah tersebut.

“Jadi memang (Pasal) 283 terpenuhi, tetapi memang tidak ada sanksinya,” ujar Totok di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (19/9/2023). Totok menjelaskan bahwa Bawaslu akan meneruskan temuan pelanggaran ini kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal (Purn) Tito Karnavian.

Atribut Kampanye

Masalah lain, akan lebih sulit jika penanggung jawab fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan yang melanggar prinsip adil, terbuka, dan proporsional, serta tidak berpihak kepada salah satu Peserta Pemilu, seperti diatur PKPU 20 Tahun 2023, pasal 72B ayat 2,  adalah pimpinan perguruan tinggi swasta.

Jikapun pasal 282 yang dikenakan, subjek hukum dalam pasal itu hanya meliputi “pejabat fungsional dalam jabatan negeri”, karenanya pasal ini tidak bisa menjerat rektor, ketua, dan direktur perguruan tinggi swasta.

Tinjauan lain atas pasal 280 huruf f dan pasal 72 ayat 1 huruf h adalah, mengenai syarat ketiadaan atribut kampanye. PKPU Nomor 20 Tahun 2023 mendefinisikan, atribut kampanye Pemilu adalah alat dan/atau perlengkapan yang memuat citra diri, visi, misi, dan program.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka unsur citra diri, visi, misi, dan program adalah kumulatif yang berarti jika salah satunya tidak dimuat dalam alat dan/atau perlengkapan saat kampanye di kampus maka pasal ketentuan ini tidak dapat kenakan atas alat dan atau/perlengkapan tersebut.

Dalam PKPU tentang kampanye, setidaknya ada dua katagori besar yang dimaksud atribut kampanye, yatu, alat peraga kampanye dan bahan kampanye.

Alat peraga kampanye, terdiri dari, spanduk, baliho, umbul-umbul, reklame, videotron. Sedangkan bahan kampanye selebaran, brosur, pamphlet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender.

Baik alat peraga kampanye maupun bahan kampanye, paling sedikit memuat visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu.

Ketentuan tentang materi dalam atribut kampanyepn tak kalah debatebale-nya, terutama pada definisi citra diri yang secara khusus diatur dalam pasal 22 ayat 4 PKPU Nomor 15 Tahun 2023. Bahwa citra diri meliputi: a. nomor urut; dan b. foto/gambar.

Ketentuan ini bersifat kumulatif yang berarti jika salah satu unsurnya, apakah nomor urut atau foto/gambar, tidak ada dalam alat dan atau/perlengkapan yang dibawa seseorang saat kampanye di kampus, misalnya alat itu hanya memuat gambar saja, maka tidak bisa disebut sebagai alat dan/atau perlengkapan yang memuat citra diri peserta Pemilu.

Secara umum, jika alat dan/atau perlengkapan yang dibawa saat kampanye di kampus hanya memuat gambar, dalam hal ini logo atau foto peserta Pemilu maka harus dikatakan itu bukan atriut kampanye.

Atau jika alat dan/atau perlengkapan yang dibawa atau dipasang atau ditempel saat kampanye di kampus hanya memuat gambar dan memuat misi saja, maka bukan merupakan alat peraga kampanye.

Pasal Mati

Tak berartilah pasal-pasal ‘setengah hati’ ini menghadapi siasat para politikus, tim kampanye, dan petugas kampanye, ketika mereka menggelar kampanye di kampus.

Tak cuma menjadi kata-kata mati dalam peraturan perundang-undangan, namun juga akan membuat lembaga penyelenggara Pemilu, KPU dan Badan Pengawas Pemilu, semakin tak berdaya akibat ambiguitas aturan yang justru membelit kaki mereka sendiri.

Lantas, jika peserta Pemilu tidak diperkenankan membawa atribut kaampanye sebagaimana ditur oleh KPU, padahal kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu, maka apa sebenarnya yang hendak dimaksud MK dan KPU tentang kegiatan peserta Pemilu di kampus ini? (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button