Pemilu

Terbukti Langgar Kode Etik, Ketua dan Anggota KPU RI Seharusnya Dicopot

BANTEN – Pengamat menilai seharusnya Ketua KPU RI dicopot atau diganti., menyusul sanksi peringatan keras terakhir yang diberikan Dewan Kehormatan Penyelenggara Penilu (DKPP) kepada Ketua dan Anggota KPU RI  karena terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu (KEPP).

Sanksi DKPP terhadap Ketua dan Anggota KPU RI lantaran menerima berkas pendaftaran calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka.

Pada Maret 2023 lalu, Hasyin Ashari juga terbukati melanggar kode Erik penyelenggara Pemilu dan diberi sanksi peringatan oleh DKPP. Haysim dianggap melanggar etik karena mengeluarkan pernyataan terkait sistem Pemilu proportional tertutup pada December 2022.

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik yang juga Dosen Magister Administrasi Publik Universitas Esa Unggul Dr Harits Hijrah Wicaksana mengatakan, ketika Ketua dan Anggota KPU RI telah diberikan sanksi peringatan keras terakhir seharusnya diberhentikan atau dicopot dari jabatannya. Hal itu karena terbukti melanggar KEPP.

“Jelas sekali kode etik yang dilanggar, Ketua KPU dan anggotanya harusnya diganti. Tapi alasannya pastikan ini karena pemilihan sebentar lagi,” ungkap Harits melalui pesan Whatsapp, Senin, (05/02/2024).

Menurut Harits, seperti hal yang sia-sia ketika penyelenggara terbukti melanggar kode etik akibat menerima pendaftaran salah satu calon. Menurutnya KPU menjadi cerminan dalam proses penyelenggaraan Pemilu 2024.

“KPU ini menjadi cerminan, kalau saya beranggapan KPU harus diganti, dicopot Ketua KPU dan anggotanya yang melanggar kode etik apalagi meloloskan capres-cawapres yang melanggar kode etik Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Lihat juga Putusan DKPP : Ketua KPU RI Tidak Profesional, Semua Anggota KPU RI Langgar Etik

Dikatakan Harits, permulaan pelanggaran kode etik berawal dari MK yang meloloskan gugatan tentang persyaratan cawapres. Ia mengatakan, ketika sudah melanggar kode etik maka sudah sangat jelas melanggar pondasi dasarnya. Kalaupun pasangan 02 Prabowo-Gibran menang dalam Pemilu, maka kemenangan tersebut atas pelanggaran kode etik.

“Mau berharap seperti apa kita berbangsa dan bernegara kalau pemimpin yang dihasilkan itu berdasarkan pelanggaran etik,” tegasnya.

Harits mengungkapkan, saat ini telah terjadi kemunduran etika pejabat negara. Menurutnya, demokrasi di Indonesia saat ini tidak mengalami kemunduran, namun yang mundur adalah karakter dan moral pejabatnya yang secara terang-terangan melanggar etika.

Harits juga menyinggung soal banyaknya dosen dan guru besar yang turun mengingatkan Presiden Joko Widodo. Peringatan dari guru besar dan dosen merupakan bentuk kepedulian rakyat terhadap kondisi berbangsa dan bernegara yang pejabatnya melanggar etika.

“Bukan kemunduran demokrasi tapi kemunduran etika bernegara seorang pemimpin bangsa dalam bernegara,” imbunya. (ukt)


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Back to top button