Sastra

Bima, Mengakali Lampu Merah

Nama aslinya Bima Reksa Nagara namun lebih akrab disapa Rambo. Sapaan tersebut disematkan bukan karena perawakannya yang kekar seperti Sylvester Stallone bintang film Amerika yang lebih dikenal dengan nama Rambo.

Bima justru memiliki perawakan yang tidak terlalu tinggi dan memiliki badan kurus dengan gaya rambut cepak. Terlihat cukup mengejek memang, namun sapaan tersebut tidak terlalu dipermasalahkan olehnya.

Bima bukanlah warga asli Kota Serang yang berstatus Ibukota Provinsi Banten. Melainkan ia berasal dari ujung selatan Banten dan cukup jarang menginjakan kaki ke Ibukota. Ia harus rela menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam untuk tiba Ibukota menggunakan jalur darat dengan menaiki Mobil Elf satu perempat.

Setelah lulus SMA, Bima datang seorang diri ke Ibukota untuk melanjutkan perkuliahan di kampus swasta yang tidak terlalu terkenal. Bahkan jika diadakan survei dari 10.000 warga, hanya satu yang tahu keberadaan kampus Universitas Pembangunan Ilmu yang disingkat UPIL.

Di kampus tersebut Bima akan berkuliah 4 tahun lamanya untuk mengejar gelar Sarjana yang dicita-citakan emak (ibu) dan abah (bapak)nya yang hanya tamatan Sekolah Dasar (SD) dan saat ini berprofesi sebagai petani di desa Harapan Jaya, Kabupaten Bumi Jaya.

Lihat juga Dalam Kamar Mandi yang Sama

Meskipun berasal dari desa, Bima merupakan pemuda yang aktif scrol-scrol media sosial dan cukup mengenal teknologi karena sering menonton Youtube. Hebatnya lagi, ia juga telah melihat tutorial bagaimana memesan ojek di aplikasi bernama Ojek Online (Ojon). Sehingga bukan suatu kesulitan ketika ia tiba di Ibukota untuk menuju kampusnya yang berada di belakang kampus negeri dan disekat oleh tembok yang cukup tinggi.

Sial memang nasib Bima, rencananya ia ingin masuk ke kampus negeri terbaik di Ibukota yaitu Universitas Alam Negeri atau lebih sering diplesetkan dengan sebutan UANG karena bayarannya yang mahal. Tapi nahas nilainya yang jeblok membuat Bima terpaksa harus mendaftar di UPIL.

Setelah menempuh perjalanan selama 4 jam dengan menaiki Mobil Elf lantaran ia belum hafal jalanan menuju Ibukota sehingga tidak diizinkan membawa sepeda motor kesayangannya.

Akhirnya Bima tiba juga di Terminal Bus Ibukota pada Pukul 09.45 WIB dengan membawa berkas pendaftaran yang sebelumnya telah ia unduh melalui website milik UPIL dan dilengkapi semua persyaratannya sebelum berangkat.

Padahal pukul 10.00 WIB Bima seharusnya sudah berada di ruangan untuk mengikuti tes sebelum masuk UPIL. Meskipun sebetulnya tanpa tes, Bima tetap bisa berkuliah di kampus UPIL lantaran peminatnya yang kehitung jari.

Setibanya di Ibukota, Bima langsung buru-buru membuka telepon pintarnya untuk memesan ojek online. Segera ia sematkan lokasi kampus UPIL sebagai tujuan dan ia pesan melalui aplikasi Ojon.

“Wah gawat ini sudah pukul 09.47 WIB, padahal tesnya bentar lagi. Harus minta ngebut ini ke mamang ojeknya,” gelisah Bima dalam batinnya lantaran khawatir jika ia tidak mengikuti tes akan ditolak seperti oleh kampus UANG.

Lima menit berlalu, akhirnya ojek pesanannya pun tiba. Waktu sudah menunjukan pukul 09.52 WIB yang artinya hanya ada waktu 8 menit lagi.

“Tujuan kampus UPIL atasnama Bima ya?,” tanya Deri sang pengemudi ojek online.

“Betul bang, ayo buruan jalan. Ngebut ya!!!,” ucap Bima seraya meraih helm yang diberikan oleh tukang ojek.

Setelah Bima naik, tukang ojekpun langsung tancap gas menuju kampus UPIL yang harus ditempuh selama 15 menit dari terminal jika melaju dengan kecepatan 40 km/jam, itupun jika semua lampu merah berwarna hijau.

Dengan cekatan Deri mengemudikan sepeda motor miliknya meliuk-liuk di ramainya jalanan Ibukota. Menyalip satu, dua, motor dan mobil, ia juga hampir beberapa kali menyerempet pengendara lain karena diminta ngebut oleh Bima.

Lima puluh meter lagi Bima dan Deri tiba di perempatan lampu merah pertama karena menuju kampus UPIL harus melewati 3 perempatan lampu merah. Namun sayang, perempatan yang akan Bima dan Deri lewati masih berwarna merah sehingga harus menunggu sekitar 3 menit agar berwarna hijau.

Alih-alih menunggu lampu lalulintasnya berwarna hijau, Deri justru langsung belok kiri dan lurus sekitar sepuluh meter dan kembali berputar arah kekanan dan belo kiri kembali. Sehingga tak perlu menunggu 3 menit untuk jalan lurus.

Melihat tindakan tersebut, Bima yang baru pertama kali ke Ibukota langsung menepuk bahu Deri dan bertanya apa maksud dari gerakan yang diperagakan tadi. Ia juga kaget karena dalam buku pelajaran yang diajarkan di sekolah, pengendara tidak boleh memutar balik secara sembarangan jika tidak ada rambu putar balik.

“Itu tadi maksudnya apa mas? Bahaya lo mas kalo kita putar balik sembarangan,” tanya Bima dengan nada yang masih terheran-heran.

“Itu udah biasa kalau disini mas, jadi kalau buru-buru gak perlu kita nungguin sampai berwarna hijau, cukup lakuin yang seperti tadi aja mas,” jawab Deri santai sambil terus melaju menuju kampus UPIL.

Hal yang sama juga terus Deri lakukan sampai ke lampu merah terakhir. Ketika tiba di perempatan lampu merah deri langsung ambil kiri, belok kanan, lalu ambil kiri dan lurus menuju kampus UPIL. Sebanyak tiga kali gerakan tersebut diperagakan oleh Deri dengan sepeda motornya sembari membonceng Bima yang masih keheranan.

“Mas terus fungsinya lampu merah untuk apa kalau kita terus lakukan gerakan seperti tadi?,” tanya Bima kembali.

“Loh kan kata masnya tadi minta ngebut karena buru-buru. Yaudah saya lakuin begitu mas,” timpal Deri.

Akhirnya Bima dan Deri tiba di depan kampus UPIL pukul 09.58 WIB. perjalanan yang seharusnya ditempuh selama lima belas menit berhasil mereka pangkas menjadi 6 menit. Mungkin jika Valentino Rossi ikut balapan dengan Deri di jalanan Ibukota akan mengacungkan 4 jempolnya untuk Deri karena ugal-ugalan.

“Memangnya boleh mas bawa motor seperti tadi?,” kata Bima sembari menyerahkan helm beserta ongkos kepada Deri.

“Gak boleh sih mas, cuma karena masnya buru-buru. Akhirnya tadi kita mengakali lampu merah mas. Supaya gak nunggu lama dan cepat sampai,” jawab Deri sembari tertawa karena melihat wajah Bima yang merah karena masih trauma dibawa ugal-ugalan.

“Cepat juga kita matinya mas kalau kayak tadi. Mana belum nikah, mati muda saya nanti,” jawab Bima kesal.

Ditulis oleh Permas, Mahasiswa Uniba Serang


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button