Opini

Berbagi Nasi Demokrasi, Si Miskin Sebutir Saja

Salah satu ciri negara demokrasi adalah dengan adanya Pemilihan Umum (Pemilu) guna membentuk pemerintahan yang demokratis. Pemilihan merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh negara penganut demokrasi yang terkadang pada praktiknya jauh dari kata demokratis.

Banyak pihak yang menilai bahwa Pemilu merupakan ajang bagi para penguasa untuk mendapatkan kembali legitimasinya. Karena dalam sistem demokrasi, pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Demokrasi tak lebih sebagai ajang sirkulasi elit lama yang selalu berotasi dalam lingkar kekuasaan oligarki. Demokrasi secara prosedural dapat dipisahkan menjadi dua yaitu demokrasi sebagai formalitas atau demokrasi sebagai alat. Demokrasi sebagai formalitas dan sebagai alat legitimasi yang dijalankan dengan cara yang tidak demokratis dengan karya rekayasa demi memenangkan kandidat maupun partai politik tertentu.

Dalam sistem demokrasi one man one vote semuanya terletak pada kualitas pemilih. Sehingga ketidaktahuan pemilih merupakan bencana bagi demokrasi yang memungkinkan mobilisasi dan pengorganisiran pemilh oleh kelompok tertentu demi kepentingan elit. Membiarkan masyarakat yang tidak berpengetahuan sama tidak bertanggung jawabnya dengan menugaskan kapal berlayar di tengah badai dengan nahkoda yang buta dan tuli.

Bisa kita katakan saat ini yang berulang kali terjadi di Indonesia merupakan demokrasi semu yang tidak menyejahterakan rakyat dan juga hanya menghadirkan kompetisi semu pula. Partai politik di Indonesia serupa perusahaan yang membukakan pintu bagi segelintir elit untuk memuluskan jalannya. Di dalam partai politik aroma transaksi berupa mahar bagi tiap dukungan dan ditentukan oleh ketua parpol. Ibarat ember, partai politik menampung semuanya mulai dari aktivis, artis, maupun pentolan orba.

Lihat juga Adilkah Pidana Bagi Penerima Politik Uang?

Partai politik seperti sebuah mobil yang penumpangnya bisa naik dan turun kapan pun mereka mau. Sehingga sangat sulit membedakan antara partai satu dengan yang lain, antara partai ideologis dengan pragmatis, maupun partai aktivis dengan partai artis. Politikus ketika berkuasa akan sangat cepat bersekongkol dengan birokrasi sehingga tega merampok negara, menghalalkan segala cara untuk mengeruk sumber daya.

Negeri ini telah lama dipenuhi banyak drama pencitraan maupun janji politik palsu. Sepiring nasi demokrasi menjadi rebutan para elit dan bisa mengambil nasi semaunya ketika terpilih. Sedangkan si miskin hanya mendapatkan satu butir saja, itupun ketika 5 tahun sekali dengan diimingi uang untuk memilih. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik dan politikus sudah lama pudar. Pada Pemilu 2014 saat penulis masih berusia 11 tahun sudah mendengar ungkapan “pilih yang beri uang, karena ketika terpilih akan lupa janjinya”.

Sepertinya, penyakit di republik ini sudah semakin parah dan akut. Di Pemilu maupun Pilkada 2024 istilah di atas semakin nyata dan merajalela, memilih pemimpin berdasarkan visi dan misi semakin jauh dan hanya sebuah ilusi. Ini merupakan dosa besar partai politik karena gagal melahirkan kader yang berkualitas dan tidak menjalankan pendidikan politik bagi kelas bawah. Sehingga masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup terus-terusan terhipnotis oleh janji palsu.

“Sebelum pesta demokrasi para politikus selalu berjanji untuk membangun jembatan, meski tidak ada Satupun sungai Disana”. Nikita Krushchev : 1970. (***)

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button
Home
Search
Daftar
Laporkan
Stats