Bung Hatta baru saja tiba di rumahnya dari Rengasdengklok pada pukul delapan malam tanggal 16 Agustus 1945, setelah diculik para pemuda, karena Bung Karno dan Bung Hatta menolak desakan para pemuda memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada malam sebelumnya, tanggal 15 Agustus 1945. Kala itu, para pemuda telah mendapatkan informasi bahwa Jepang sudah menyerah kepada tentara Sekutu
Dalam buku kumpulan tulisan Muhammad Hatta: Politik, Kebangsaan Ekonomi, salah satu tulisan karya Bung Hatta berjudul Proklamasi, menceritakan sejumlah peristiwa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Dituturkan, di rumahnya, yang sekarang Jalan Depinegoro 57, Bung Hatta malam itu mengizinkan Subardjo, yang bersama Sukarni menemani Bung Hatta dan Bung Karno dari Rengasdengklok ke Jakarta, untuk menghubungi Admiral (Laksmana) Maeda Tadashi guna meminjam ruangan di kediamannya untuk digunakan sebagai tempat rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Sedianya rapat tersebut diagendakan pukul 10 pagi tanggal 16 Agutus 1945, di Hotel des Indes, namun rapat pagi itu tak terselenggara akibat aksi penculikan pemuda terhadap Bung Hatta dan Bung Karno, dan pihak hotel tidak menginzinkan ada aktivitas apapun di malam hari, setelah sebelumnya Subardjo menghubungi pihak hotel.
Admiral (Laksmana) Maeda memersilahkan salah satu ruangan di rumahnya digunakan rapat, dan Subardjo, atas perintah Bung Hatta, menghubungi anggota Pantia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang berada di Hotel des Ides untuk datang ke kediaman Maeda pada pukul 12 malam itu. Subardjo dikatakan akan menghubungi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari rumahnya, lalu semua yang ada di rumah Bung Hatta bersepakat untuk pulang ke rumah masing-masing.
LIhat juga *Cogito Ergo Sum*
Namun, sebelum semua pulang, telepon di rumah Bung Hatta berdering dan ternyata dari Tuan Mayosi (juru bahasa pemerintah Jepang di Indonesia kala itu) menyampaikan psan dari Kepala Pemerintahan Umum Jepang di Indonesia, Mayor Jenderal Nisyimura yang meminta bertemu Bung Karno dan Bung Hatta.
Dalam buku itu dikatakan, Bung Hatta mengiyakan setelah mendapatkan kesediaan dari Bung Karno. Lalu Bung Hatta meminta Tuan Mayosi untuk menemui mereka di rumah Admiral Maeda pukul 10 malam tanggal 16 Agustus 1945. Dekat ke jam 10, Bung Karno singgah di rumah Bung Hatta dan mereka bersama menuju rumah Maeda.
Dari rumah Maeda, Bung Karno dan Bung Hatta menuju rumah Nisyimura besama Mayosi dan Maeda. Mereka lalu terlibat dalam perundingan. Inti perundingan adalah bahwa Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia akan melanjutkan rapat pada pukul 12 malam itu juga.
Namun, Mayor Jenderal Nisyimura menjawab, bahwa sekarang sudah lain keadaannya. “Apabila rapat itu berlangsung tadi pagi, akan kami bantu. Tetapi setelah tengah hari kami harus tunduk kepada perintah Sekutu, dan tiap-tiap perubahan status quo tidak diperbolehkan. Jadi sekarang rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu terpaksa kami larang,” kata Nisyimura ditulis Bung Hatta dalam tulisannya.
Menanggapi jawaban itu, Bung Karno dan Bung Hatta mengemukakan,” Sekarang seluruh rakyat Indonesia sudah tahu Jepang menyerah kepada Sekutu dan mereka tidak lupa bahwa Jepang sudah menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Kalau Jepang tidak mampu lagi menepati janjinya rakyat Indonesia sendiri yang akan memerdekakan dirinya. Semangat rakyat yang bergelora akan diperhatikan oleh Sekutu kecuali Belanda. Sebab itu, Jepang tidak perlu lagi menolong kami. Kami minta cuma kami jangan dihalang-halangi. Rakyat Indonesia dengan pemuda di muka bersedia mati untuk melaksanakan cita-cita Indonesia merdeka.”
Malam itu di rumah Nisyimura terjadi ketegangan antara para pemimpin rakyat Indonesia dengan Nisyimura sebagai wakil Pemerintah Jepang di Indonesia. Bung Hatta bahkan sempat naik darah menanggapi pernyataan Nisyimura. Bung Hatta berkata, “Apakah itu janji dan perbuatan Samurai? Dapatkah Samurai menjilat musuhnya yang menang untuk memperoleh nasib yang kurang baik? Apakah Samurai hanya hebat terhadap orang yang lemah di masa jayanya, tapi hilang semangatnya waktu kalah? Baiklah, kami akan berjalan terus apa juga yang akan terjadi. Mungkin kami menunjukkan kepada Tuan, bagaimana jiwa Samurai semestinya menghadapi suasana yang berubah.”
Setelah dua jam perundingan penuh debat itu berlangsung, Bung Hatta dan Bung Karno akhirnya memutuskan keluar dari rumah Nisyimura dan kembali ke rumah Maeda yang bisa ditempuh hanya 5 menit menggunakan mobil.
Di rumah Maeda, sudah berkumpul puluhan tokoh, baik anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, para pemuda, dan anggota Cuo Sangi-in. Bung Hantta memperkirakan ada sebanyak 40 sampai 50 orang.
Di ruang tamu kecil rumah itu, Bung Karno, Bung Hatta, Subardjo, Sukarni, dan Sajuti Melik, duduk melingkari meja bermaksud membuat teks ringkas tentang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Kala itu terjadi dialog. Bung Karno mengatakan, “Saya persilahkan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu, sebab bahasanya saya anggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir di ruang tengah.” Lalu, Bung Hatta menjawab,”Kalau saya mesti memikirkannya, lebih baik Bung menuliskannya.”
Semuanya setuju untuk kalimat pertama mengambil dari akhri alenia ketiga rencana Pembukaan Undang-undang Dasar yang mengenai Proklamasi. Kalimat pertama itu adalah, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.”
Menurut Bung Hatta,kalimat ersebut hanya menyatakan kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, karenanya harus ada komplemennya yang menyatakan bagaimana caranya menyelenggarakan revoluasi nasional. Lalu, Bung Hatta mendiktekan kalimat berikut,”Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.” Teks ini lalu disetujui kelima tokoh yang berkumpul di ruang tamu kecil itu.
Rumusan teks proklamasi itu kemudian dibawa ke ruang tengah yang sudah dipenuhi para tokoh, lalu Bung Karno membuka sidang dan membacakan rumusan teks proklamasi secara perlahan-lahan dan berulang-ulang.
“Benar-benar saudara semuanya setuju,” kata Bung Karno mengulangi pertanyaannya. Setuju, kata yang hadir semuanya.
Bung Hatta dalam momen itu sempat meminta agar semua yang hadir turut menandatangani naskah proklamasi tersebut sebagai sebuah dokumen sejarah. Namun, digambarkan oleh Bung Hatta, sejenak rapat diam dan tidak terdengar suatu diskusi apapun tentang yang diusulkannya. Tak lama kemudian, Sukarni maju, lalu berkata,” Bukan kita semua yang hadir di sini harus menandatangani naskah itu. Cukuplah dua orang saja menandatanganinya atas nama rakyat Indonesia, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta.”
Ada kekecewaan pada diri Bung Hatta yang berharap, mereka serta menandatangani suatu dokumen yang bersejarah, yang mengandung nama mereka untuk kebanggaan anak cucu di kemudian hari. Tetapi apa yang akan dikata? Demikian tulis Bung Hatta.
Rapat ditutup pukul 3 pagi hari tanggal 17 Agustus 1945. Sebelumnya Bung Karno mengingatkan, 17 Agustus 1945 pukul 10, proklamasi itu akan dibacakan di muka rakyat di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56.
LIhat juga Zaman Serba Boleh
Berita tentang Proklamasi sudah menyebar dari mulut ke mulut. Semua jalanan menuju rumah Bung Karno dipenuhi rakyat. Begitu penuturan Bung Karno dalam biografi Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adam. Diceritakan, saat itu Bung Karno sedang sakit.
Pada pukul sembilan, menurut Bung Karno, kira-kira 500 orang berdiri di depan beranda rumahnya. Fatmawati, istri Bung Karno, menemani selagi Bung Karno tidur selama beberapa menit. Bung Karno merasa mengigil dan wajahnya pucat.
“Sekarang Bung, Sekarang…! rakyat berteriak. “Bacakan Proklamasi sekarang..!” Setiap orang berteriak kepadaku, kata Bung Karno seperti ditulis dalam buku itu. Desakan rakyat dijawab Bung Karno. “Hatta belum datang,” kata Bung Karno. ”Aku tak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta.”
Pada momen kritis dalam sejarah ini, Soekarno dan Indonesia menunggu kedatangan Hatta, tulis Cindy Adam.
Bung Hatta tiba di rumah Bung Karno lima menit sebelum pukul 10. “Orang tahu bahwa saya selalu tepat menurut waktu, sebab itu tidak ada orang yang gelisah, takut kalau saya terlambat datang. Soekarno pun tidak khawatir, karena Ia tahu kebiasaan saya,” kata Bung Hata di tulisan berjudul Proklamasi dalam buku Muhammad Hatta; Politik, Kebangsaan, Ekonomi.
Setelah berganti dengan pakaian serba putih, Bung Karno melangkah keluar. Di belakangnya menyusul Bung Hatta dan Fatmawati. Upacara itu berlangsung sederhana. Bung Karno berjalan ke pengeras suara kecil hasil curian dari stasiu radio Jepang dan dengan sangat singkat mengucapkan proklamasi itu.
“Tidak ada musik, tidak ada orkes. Setelah bendera dikibarkan, kami menyanyikan Indonesia Raya,” tutur Bung Karno dalam tulisan Cindy yang juga diberi judul Proklamasi itu.
Penulis : Eka Satialaksmana
Sumber :
1. Muhammad Hatta : Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977), Kompas Penerbit Buku, 2015
2. Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat, Yayasan Bung Karno & PT Media Presindo, Edisi Revisi, 2019