Ditarget Panen Empat Kali Setahun, Petani “Lempar Handuk”

BANTEN – Sejumlah petani di Kabupaten Serang mengaku tak bisa penuhi ambisi Gubernur Banten Andra Soni yang menargetkan panen padi empat kali dalam setahun.
Target empat kali panen dalam satu tahun diutarakan oleh Andra Soni saat menghadiri panen padi serentak di 15 provinsi se Indonesia di Desa Pamengkang, Kecamatan Kramatwatu, Kabupaten Serang, Senin (07/04/2025).
Saat itu, Andra mengaku akan berupaya memenuhi target panen padi empat kali panen dalam setahun yang berarti dua kali lipat dari panen padi biasanya. Sehingga, dalam setahun Provinsi Banten ditargetkan bisa menghasilkan 2,8 juta ton gabah dari yang sebelumnya hanya 1,5 juta ton padi.
“Tahun ini kita punya target dua kali lipat dan itu bisa terjadi karena ketersediaan air sudah diurusin,” katanya.
Lihat juga Petani Kewalahan Harga Pupuk Semakin Mahal
Andra juga mengaku akan memberikan bantuan benih padi yang cepat panen kepada petani. Agar target tersebut bisa tercapai. “Supaya cepat panen, cepat juga tanam, ini adalah tujuan kita bersama,” kata Andra.
Andra menambahkan, pihaknya juga berkomitmen untuk menjaga stabilitas harga gabah di angka Rp6.500 per kilogram.
Menanggapi hal tersebut, petani di Kampung Dermayon, Desa Pemengkang, Kecamatan Kramatwatu menyampaikan berbagai kendala terkait ambisi tersebut. Wagi (55) mengatakan, sistem empat kali tanam setahun sulit diwujudkan. Menurutnya, hal itu dapat menurunkan kualitas padi karena kadar air yang tidak terkontrol.
“Gak mampu, tiga kali panen juga susah karena masalah air,” tuturnya.
Menurut Wagi, sistem tanam padi hanya bisa dilakukan maksimal dua kali dalam setahun. Adapun masa tanam padi hingga panen yakni maksimal empat bulan lamanya. Dan hingga tanam kembali dibutuhkan waktu dua bulan pasca panen sebelum ditanam padi kembali.
“Udah pernah nyoba tiga kali. Boro-boro memuaskan, malah gagal panen,” jelasnya.
Dia menambahkan, ambisi empat kali panen dalam setahun justru hanya akan membuat kualitas lahan sawah rusak.
Wagi juga menjelaskan, harga jual gabah cenderung rendah. Gabah kering dijual sekitar Rp6.300 per kilogram, sementara gabah dengan kadar air tinggi hanya dihargai Rp6.000–Rp6.200.
“Ga nyampe (Rp6.500) gapernah nyampe, (jual) ke Wilmar yang nyampenya mah kalo kita (petani) hanya jual ke penggiling atau pabrik (harganya) dibawah itu,” ujarnya.
Wagi sendiri mengelola lahan seluas 2–3 hektare, dengan hasil panen bervariasi. Di lahan sawah dalam dengan irigasi baik, satu hektare bisa menghasilkan 6–7 ton. Namun, kata dia, di lahan lain yang kurang air, hasilnya hanya sekitar 4–5 ton per hektare.
Petani lain, Suparman (54), juga menyuarakan keraguan terhadap target tanam empat kali setahun. Ia menilai dari sisi biaya dan risiko, sistem tanam intensif justru dapat merugikan petani.
“Kalau kita coba untuk tanam 3 kali percuma, masalahnya modal, ada penyakit, buang-buang biaya dan modal,” kata Suparman.
Meskipun distribusi pupuk kini mulai lancar, ia menilai produktivitas maksimal tetap hanya dua kali panen per tahun. “(Tanam) tiga kali aja ga mampu, maksimal 2 kali pertahun kalo dipaksain 3 kali rusak tanah, apalagi empat kali,” ujarnya.
Terkait harga gabah, kata Suparman, apabila pemerintah menekankan harga Rp6.500 per kilogram, maka negara harus hadir secara langsung membeli gabah ke petani. Hal itu karena petani kerap bingung harus menjual gabah ke mana.
“Kalau cuma himbauan doang gimana, kita juga maunya (Rp6.500 per kilogram), cuma jualnya ke mana,” tanya Suparman.
Meskipun demikian, Suparman mengapresiasi langkah tersebut. Karena saat ini tidak ada lagi gabah petani yang dibeli dibawah Rp6.000 per kilogram. (ukt)