Opini

Generasi Strawberry, Mental Health, dan Galaunya Orang Tua

“Seorang mahasiswa UGM ditemukan tewas bunuh diri dari lantai 11 sebuah hotel di Jogjakarta”, berseliweran judul berita dengan headline serupa sejak kemarin di berbagai platform media. Sebagai orang tua yang punya anak tengah menimba ilmu di Jogjakarta saya sontak mengelus dada sambil kencengin doa. Sungguh, hanya itu yang bisa saya lakukan karena seketat apapun kita melindungi anak kita apalagi yang sudah beranjak dewasa, tetap, hidayah itu hakNya. Itu saja yang saya pedomani.

Eh, tapi ini ternyata bukan sekadar saya yang khawatir anak-anak terlibat pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, dan kenakalan-kenakalan mengarah ke kriminal lho. Ini soal mental health yang saya amati kok akhir-akhir ini marak dibicarakan. Adik kita Tegar, mahasiswa baru program ilmu komunikasi di universitas mentereng dambaan setiap generasi ternyata diketahui tengah dalam perawatan kesehatan mental. Dia yang penulis, hobi main skateboard, datang dari keluarga berkecukupan dengan lingkungan yang baik tak dinyana, tak urung jua mengalami masalah yang sungguh tidak pernah kita bayangkan ternyata sampai merenggut nyawa.

Hari Kesehatan Mental Sedunia atau Hari Kesehatan Jiwa Sedunia jadi ajang peringatan tahunan yang jatuh setiap 10 Oktober. Peringatan ini diciptakan dan diasosiasikan langsung oleh lembaga kesehatan dunia bernama World Federation of Mental Health (WFMH).
Dikutip dari WFMH Global, negara-negara berpenghasilan tinggi memiliki laporan bahwa lebih dari 75 persen penduduknya yang mengidap depresi tidak menerima perawatan yang memadai. Dengan angka yang sama pula, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak memberikan pengobatan sama sekali kepada pengidap gangguan mental.

Hati saya meringis, Tegar, dengan segala kemampuan ekonominya, memilih untuk mengakhiri hidupnya alih-alih berupaya tegar menghadapi penyakitnya. Lalu bagaimana dengan anak-anak muda lain yang tidak punya akses ekonomi yang memadai?. Akan ada berapa banyak lagi Tegar yang mati sia-sia karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang memadai?

“Gua anak umur 21, gak nyangka ternyata kuliah itu seburuk itu untuk mental health, semester 1 kemarin gua udah dihujanin materi sama tugas yang bener2 banyak, akibatnya waktu gua untuk healing sama self reward jadi kurang banget. Yang tadinya gua masih bisa nonton netflix sama chat-chat-an dengan bestie sekarang jadi susah banget. Gua kayaknya belum siap kuliah deh. Gua udah ngomong ke ortu kalau gua mau cuti dulu semester ini. Gua mau fokus healing selama 6 bulan dulu. Tapi ortu gua malah ga setuju, bahkan gua dibilang manja. Gua bingung mau gimana takutnya kalau paksain ipk ku malah tambah anjlok. Gua juga susah komunikasikan ini ke ortu karena mereka ga aware sama mentalhealth kaya gua. Gua mesti gimana….??? (dan diakhiri dengan emot menangis)”.

Paragraf di atas merupakan cuitan twitter salah satu mahasiswa semester 2 (dua) yang sempat viral beredar akhir-akhir ini di beberapa platform media sosial seperti facebook dan instagram, yang akhirnya menimbulkan pembahasan bagi khalayak mengenai istilah yang dianggap baru tentang generasi muda sekarang ini (generasi di bawah millenial) yakni strawberry generation / generasi strawberry.

Istilah strawberry generation pada mulanya muncul dari negara Taiwan, istilah ini ditujukan pada sebagian generasi baru yang lunak seperti buah strawberry. Pemilihan buah strawberry untuk penyebutan generasi baru ini juga karena buah strawberry itu tampak indah dan eksotis, tetapi begitu dipijak atau ditekan ia akan mudah sekali hancur

Menurut Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya dan dalam salah satu kesempatan kuliah online melalui streaming youtube beliau, strawberry generation adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Definisi ini dapat kita lihat melalui laman-laman sosial media. Begitu banyak gagasan- gagasan kreatif yang dilahirkan oleh anak-anak muda, sekaligus pula juga tidak kalah banyak cuitan resah penggambaran suasana hati yang dirasakan oleh mereka.

Jenis overthinking yang dialami oleh kaum muda dengan usia sekitar 25 tahun disebut sebagai quarter life krisis. Quarter life krisis tidak dialami oleh para generasi tua jaman dahulu karena hidupnya memang pada umumnya sedang berjuang dan susah. Tetapi anak muda jaman sekarang mudah cemas ketika melihat temannya pada usia 25 tahun sudah menikah, punya anak, punya karir yang terlihat baik sudah punya mobil dan lain-lain. Kemudian sosial media sekarang ini menjadikan pencapaian-pencapaian itu mudah sekali dipublikasikan dan menjadikan kecemasan berlebih pada sebagian kaum muda lainnya yang belum dapat mencapainya.

Overthingking tersebut membuat anak muda sekali lagi dengan mudah mengatakan bahwa mereka butuh healing karena kepenatan-kepenatan akibat banjirnya informasi pada media sosial, yang tidak dapat mereka saring dengan baik.

Mental generasi strawberry rupanya diperparah oleh pandemi yang terjadi 2 (dua) tahun terakhir. Survei terbaru dari Very Well Mind mengatakan Gen Z merupakan kelompok usia yang secara kejiwaan paling terpengaruh. Gen Z, sebutan untuk mereka yang lahir di tahun 1995-2010, lebih sering merasa stres dan frustasi dibandingkan orangtunya. Sekitar 62 persen mengaku mengalami stres sedang hingga berat dalam 30 hari terakhir. Ini berbeda dengan generasi X (53 persen) dan baby boomer (35 persen) pada periode yang sama.

WHO sendiri telah mengonfirmasi pandemi COVID-19 telah menciptakan krisis global untuk kesehatan mental, memicu tekanan jangka pendek dan jangka panjang, serta merusak kesehatan mental jutaan orang.

Sekretaris Jenderal PBB mengatakan bahwa, tanpa tindakan tegas, dampak krisis tersebut dapat berlangsung jauh lebih lama daripada pandemi itu sendiri. Hal ini pun mendesak pemerintah untuk bertindak memperbaiki ketidaksetaraan mencolok yang diekspos oleh pandemi, termasuk akses ke pelayanan kesehatan jiwa.

Kesehatan mental, seperti dilansir dari laman Kementerian Kesehatan RI merupakan kondisi dimana individu memiliki kesejahteraan yang tampak dari dirinya yang mampu menyadari potensinya sendiri, memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya.

Kesehatan mental ini dipengaruhi oleh peristiwa dalam kehidupan yang meninggalkan dampak yang besar pada kepribadian dan perilaku seseorang. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak, atau stres berat jangka panjang.

Jika kesehatan mental terganggu, maka timbul gangguan mental atau penyakit mental. Gangguan mental dapat mengubah cara seseorang dalam menangani stres, berhubungan dengan orang lain, membuat pilihan, dan memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri.

Nah, orang tua, apa jadinya jika kita tak punya cukup pengetahuan tentang hal ini?. Saat anak ingin bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya di sekolah kita lebih sibuk dengan gadget kita?. Saat anak mulai menunjukkan gejala penyakit mental yakni lebih mudah marah, sering merasa frustrasi, lebih sering bertengkar, cenderung kasar, kita malah memarahi mereka dan menganggap mereka sekadar ‘lagi nakal’?

Lalu kita piikir dengan mencukupi segala kebutuhannya, anak-anak kita akan bahagia?. Berlama-lama dengan gadget kita anggap normal, lebih memilih mengurung diri di kamar kita anggap lebih aman, segan membicarakan persoalana pribadi kita anggap mereka tak punya masalah.

Kekeliruan orangtua berikutnya menurut Rhenald Kasali adalah setting unrealistic expectation. Orangtua sering menyebut anaknya princess, prince, anak paling hebat dan lain sebagainya. Padahal dalam kenyataannya nanti dalam kehidupan, anak-anak ini akan menghadapi situasi lebih besar dan lebih sulit daripada lingkungan amannya di rumah dimana akan ada orang-orang yang lebih hebat dan pandai dari diri mereka. Akibatnya anak-anak ini kemudian akan lebih mudah kecewa dan lebih mudah tersinggung karena perbedaan kondisi di dalam dan di luar rumah.

Kita paham bahwa tantangan ke depan akan makin kompleks dan juga berat, namun rasa optimisme akan mampu membawa kita untuk terus berjalan ke depan. Insyaallah anak muda pasti bisa. Mulai sekarang yuk perbaiki cara kita memperlakukan anak remaja kita, dengan menunjukkan cinta, kasih sayang, dan perhatian, tunjukkan bahwa kita tertarik dengan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka, pujilah upaya anak dan hargai ide dan pendapat mereka.

Penting juga untuk orang tua tahu apakah anak-anak kita memiliki  kesehatan mental yang baik, perhatikan ciri-cirinya antara lain; merasa lebih bahagia dan lebih positif tentang diri mereka sendiri dan menikmati hidup; bangkit kembali dari kekesalan dan kekecewaan; memiliki hubungan yang lebih sehat dengan keluarga dan teman, bisa bersantai dan tidur nyenyak serta merasa nyaman di komunitas mereka.

Nah orang tua, dan para generasi Z, sekarang masanya kolaborasi. Orang tua tak bakal bisa tanpa dukungan anak muda, pun anak muda tak kan sanggup tanpa dorongan orang tua. Sepakat yuk lah demi generasi yang sehat mentalnya, tangguh raganya, dan siap merubah dunia. (*)

Leave a Reply

Check Also
Close
Back to top button
Home
Search
Daftar
Laporkan
Stats