Opini

Jangan Biarkan Grup Keluarga Jadi Tempat Sebar Hoaks

Adakah yang suka gemas sendiri jika di grup keluarga ada yang menyebarkan berita hoaks? Tenang, kamu tidak sendiri. Kita boleh jadi kesal dengan mudahnya bapak, ibu, om tante, bude pakde, atau simbah-simbah kita, dalam menyebarkan informasi keliru. Tapi ternyata menurut penelitian, generasi baby boomer seperti mereka memang dinilai paling rajin bagikan hoaks. Kira-kira kenapa ya?

Guess (2019), mengatakan bahwa kalangan pengguna internet yang sudah berumur merupakan bagian masyarakat yang paling sering tertipu dengan berita bohong atau hoaks dibandingkan dengan pengguna internet kalangan muda, dengan dikatakan bahwa pengguna dengan usia 65 tahun ke atas tujuh kali lebih sering membagikan berita bohong atau hoaks dibandingkan dengan pengguna yang lebih muda, studi ini dilakukan di Amerika Serikat.

Berdasarkan penelitian tersebut, orang berusia 65 tahun ke atas adalah kelompok usia yang paling sering membagikan hoaks, meski berpendidikan sekalipun.

Lihat juga Kala Pinjol dan Judi Online ‘Bestie’-an

Riset yang dilakukan peneliti dari universitas ternama Princeton University dan New York University ini, melibatkan 3.500 responden dengan usia beragam di Amerika Serikat. Mereka menganalisis unggahan Facebook para responden itu sebelum dan sesudah Pilpres AS 2016 lalu. Setelah data terkumpul, seperti dikutip dari Vice, peneliti menemukan kalau ternyata orang tua usia 65 tahun ke atas gemar membagi hoaks dua kali lebih sering dibanding kelompok usia 45-65 tahun. Sedangkan kalau dibandingkan dengan umur termuda 18-29 tahun, bedanya mencapai tujuh kali lipat!

Dari penelitian itu juga disimpulkan kalau penyebaran hoaks lewat Facebook itu tidak terkait dengan latar belakang pendidikan, jenis kelamin, dan pandangan politiknya. Mau dulunya lulus cumlaude, selama ia tergolong generasi baby boomer, ya tetap saja lebih mudah termakan hoaks.

Para peneliti itu menawarkan dua teori untuk menjelaskan fenomena di atas. Yang satu berhubungan dengan literasi digital dan yang lainnya seputar kemampuan kognitif manusia yang terus menurun seiring bertambahnya usia.

Riset di atas memang tidak mengungkap alasan kenapa para orang tua itu gampang  menyebarkan berita hoaks namun, penelitinya berusaha mengungkap teori mengenai hal tersebut –yang mana masih bersifat argumentatif dan butuh riset lanjutan. Jadi menurut mereka, masih dilansir dari Vice, ada dua alasan utama: Orang tua tidak memiliki literasi digital yang levelnya setara dengan generasi yang lebih muda. Orang tua lahir sebelum internet ada. Beda dengan kita yang tumbuh bersama internet. Jadi secara teknis dan kegunaan, kita jauh lebih paham dan lebih adaptif dibanding orang tua. Bisa dibilang mereka ini masih gagap lah soal teknologi. Selanjutnya, secara biologis, orang tua mengalami penurunan kognitif, termasuk proses berpikir di dalam otaknya. Mereka lebih rentan tertipu informasi yang belum pasti kebenarannya.

Walaupun dilakukan di Amerika, tapi penelitian di atas tampaknya cukup relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Menkominfo dan sejumlah pengamat sepakat dengan hal itu seperti dikutip Detik, Menkominfo saat itu Rudiantara –menukil informasi dari pegiat media sosial Alm. Nukman Luthfi– mengatakan kalau milenial itu tidak suka hoaks, justru generasi tua lah yang suka.

Pengamat Sosial Vokasi Dewi Rahmawati, dilansir Tirto, berpendapat bahwa kita dan orang tua kita cenderung punya pola pikir berbeda. Saat kita lebih fokus pada ketepatan, orang tua justru lebih berpaku pada kecepatan. Yang penting di-share dulu, benar atau tidaknya belakangan, mungkin begitu pikir mereka. Sementara Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, menyebut para orang tua ini dengan istilah ‘digital immigrant’. ‘Imigran’ ini tumbuh saat informasi masih berbentuk cetak. Sedangkan sekarang situasinya sudah jauh berbeda, informasi berseliweran tanpa saringan, mereka pun akhirnya gelagapan.

Berkaca dari situasi ini, mungkin sudah jadi tanggung jawab generasi muda yang lebih ‘fasih’ ber-media sosial untuk mengurangi kecenderungan bapak, ibu, om, tante, atau eyangnya untuk menyebar hoaks.

Istilah hoaks telah menjadi istilah yang popular untuk menggambarkan suatu peristiwa palsu, bohong, atau berita bohong khususnya yang beredar pada teks-teks di media sosial (Triartanto, 2015). Dalam konteks media cyber hoaks dapat dipahami sebagai informasi bohong yang disebar luaskan atau upaya untuk menipu pembaca atau audiens melalui cyber media agar pembaca mempercayai informasi yang disebarkan (Triartanto, 2015, hal. 33). Fenomena informasi bohong atau hoaks termasuk ke dalam persoalan baru di masyarakat yang siapa pun dapat menjadi sasarannya. Hal ini dapat berdampak pada hadirnya persepsi negatif pada objek informasi maupun terjadinya kondisi yang tidak kondusif di masyarakat. Hoaks tidak hanya bertujuan untuk memberikan informasi bohong kepada orang lain. Hoaks juga dapat membuat orang lain terlibat ke dalam suatu permasalahan atau konflik, bahkan hoaks juga dapat digunakan untuk memperoleh keuntungan bagi orang yang menyebarkan atau menciptakannya (Salomon (2009) dan Milhorn (2007).

Survei nasional yang diadakan oleh Mastel di tahun 2017 (BKKBN, 2017) mengklaim bahwa aplikasi chatting seperti Whatsapp, Line, dan Telegram telah menjadi saluran penyebaran hoaks menurut 62.80% responden. Lebih lanjut, dalam survei Mastel tahun 2017 juga diklaim bahwa 44.30% user internet menerima pesan hoaks setiap hari.

Melalui siaran persnya, selama triwulan pertama tahun 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengidentifikasi sebanyak 425 isu hoaks yang beredar di website dan platform digital. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan pada triwulan pertama tahun 2022 yang mencapai 393 isu hoaks.

Pada Januari 2023 Tim AIS Ditjen Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo menemukenali 147 isu hoaks. Pada Februari 2023 terdapat 117 isu hoaks dan bulan Maret 2023 terdapat 161 isu hoaks.

Keunggulan Whatsapp menurut Church dan de Oliviera (2013) antara lain Whatsapp dianggap murah karena menggunakan paket data. Kedua, Whatsapp memiliki pengaruh sosial, karena digunakan oleh saudara dekat, dan teman-teman. Ketiga, Whatsapp tidak memiliki batasan karakter, tidak seperti beberapa platform lain. Keempat, Whatsapp memfasilitasi group chat dan menimbulkan sense of connectedness karena digunakan oleh kelompok dengan hubungan sosial yang erat. Kelima, Whatsapp memiliki immediacy, privacy concern dan expectation, dengan fitur penanda apakah pesan telah diterima, dibuka, dan kemudian dibalas. Whatsapp, layaknya media sosial lain seperti Facebook, Twitter, dan Instagram juga difungsikan sebagai media pemberitaan. Sebagai konsekuensinya, berita bohong, kesalahpahaman, dan chaos dalam kelompok masyarakat tertentu muncul karena kaidah jurnalistik tidak lagi menjadi prioritas ketika pengirim pesan adalah seseorang yang dekat atau dipercaya oleh pengguna Whatsapp.

Seolah menjadi hal yang lumrah ketika anggota keluarga mengirimkan pesan yang notabene bersifat hoaks, dengan argument bahwa “pesan dari grup sebelah” seolah mengaburkan asas tanggung jawab. Hal ini membuktikan bahwa praktik cover both side dan “saring sebelum sharing” jarang dilakukan dalam menggunakan media sosial, khususnya Whatsapp dalam lingkup grup keluarga. Ketidakpahaman terhadap konsep media sosial menjadi salah satu faktor penyebab tersebarnya pesan hoaks tersebut. Untuk itu literasi media, khususnya dalam media digital, perlu untuk digalakkan sampai lingkup organisasi terkecil yaitu keluarga.

Simak cerita berikut, yang disebarkan melalui internetsehat.id:

Tadi pagi si Babeh nyebarin info lewat chat. Eh, ternyata itu hoaks

Yaudah dong Saya coba tegur Babeh langsung. Saya bilang “Beh, lain kali cek dulu dong infonya bener apa nggak. Ini kan hoaks.”

Eh si Babeh kayaknya ngambek. Dia bilang, “Iya, Babeh siap salah.”

Kadang-kadang, nggak enak juga yak mo ngasih tau, tapi malah bikin masalah

Ini Saya auto nggak dibukain pintu pager deh

Ada cara buat ngasih tau kerabat kita (terutama yang lebih tua), yang nggak sengaja nyebarin HOAKS

Metodenya DACK: Dengarkan, Apresiasi, Cek, Klarifikasi

Cara ini sudah banyak yang coba, katanya sih jadi lebih aman dan tetap sopan.

Seharusnya, Saya bilang gini ke Babeh:

“Beh, Mantep, apdet juga nih Babeh (DENGARKAN)

Makasih ya, Aku udah dikasih tau Beh (APRESIASI)

Aku lagi baca-baca berita nih, kayaknya info yang Babeh kasih hoaks (CEK)

Nah, ini ada nih Beh, link beritanya yang bener (KLARIFIKASI)

Coba yuk cek bareng Aku Beh

Hmm, begitu kali yak kira-kira yang harusnya Saya lakukan, dan jangan lupa pake emoji andalan Sosmedor biar lebih friendly.

Selain tips di atas, bagi yang ingin cek hoaks, Mafindo diketahui mengembangkan chatbot di akun WhatsApp, untuk membantu pengguna mengetahui bagaimana cara cek pesan hoaks di WhatsApp. Cara cek pesan hoaks di WhatsApp di antaranya dengan chat ke akun chatbot Mafindo (+62-859-2160-0500 atau klik wa.me/6285921600500). Setelah itu, kirim pesan yang akan diperiksa oleh chatbot untuk memeriksa fakta dan mempelajari tips melindungi diri dari hoaks.
Yuk, semua bisa setop hoaks. (*)


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button