Sastra

Dalam Kamar Mandi yang Sama

Kamar mandi. Tempat di mana aku selalu mendapatkan ide untuk menuliskan sebuah puisi cinta. Air yang keluar dari shower adalah air yang tidak biasa. Air itu menyiram otak-otak tandus agar dapat menyuburkan ide-ide hijau. Selain subur, ide-ide itu juga dapat mengeluarkan aroma wangi bak bunga melati. Siapapun yang mencium aroma tersebut akan timbul sensasi mengawang-ngawang yang sangat berbeda. Lebih hebat daripada ganja. Lebih pamungkas daripada LSD. Sebegitu hebatnya air yang keluar dari shower kamar mandiku. Ya, aku tahu bahwasannya kamar mandi adalah tempat bernaung setan, tapi aku sudah terlanjur mencintai kamar mandi. Aku belum mencintai setan. Aku berusaha mencintainya. Ternyata setan adalah makhluk yang angkuh. Ia tidak ingin dicintai oleh aku. Katanya sifatku sangatlah setan. Bahkan melampauinya. Aku bingung. Mana mungkin aku mempunyai sifat setan? Aku manusia sejati. Aku bersyukur tuhan memberikanku sifat manusia yang mulia. lantas, aku menuding setan. Aku juga mengajak setan untuk berkelahi. Aku memilih halaman masjid sebagai arena untuk berkelahi. Setan cepat-cepat menolak ajakanku. Ia takut akan masjid. Suara azan yang menyeruak dalam masjid dapat membinasakan setan. Aku tersenyum puas. Aku keluar sebagai pemenang. Walau perkelahian belum terjadi. Setan berbahagia karena menjadi pecundang. Lebih baik menjadi pecundang daripada binasa dalam sekejap.

Puisi cinta yang sudah kubuat nantinya akan kupersembahkan kepada pacarku di Jakarta. Aku rutin setiap dua minggu mengiriminya 10 puisi. Dan aku mewajibkan ia untuk membalas puisiku. Harus 10 puisi terbalaskan. Tidak boleh kurang ataupun lebih. Aku tahu, pacarku tidak menyukai puisi. Ia lebih suka membaca berita artis. Ia lebih suka memandangi tubuh seksi seorang publik figur. Itu adalah kebiasaan yang dapat menumpulkan kemampuan otak untuk berpikir. Memandang tubuh seksi seseorang dapat menimbulkan sifat cemburu dan tidak percaya diri. Sifat-sifat tersebut akan membawa seseorang menuju maut yang sia-sia. Pacarku tidak boleh mati dalam keadaan konyol. Pacarku harus mati dalam keadaan sedang membalas puisi kirimanku. Maka, aku paksa ia untuk melakukan kegiatan balas-membalas puisi. Suka tidak suka harus dilakukannya. Jika ia menolak, aku akan meninggalkannya. Aku akan membawakan sebuah malapetaka yang bengis nan mengerikan. Setelah kuancam seperti itu, ia bergidik ngeri. Ia lebih sayang pada dirinya, aku sampai lupa dicintainya.

Perlukah aku mendeskripsikan pacarku? Mungkin tidak perlu. Aku takut setelah aku mendeskripsikan pacarku, kalian akan mengaguminya. Aku sangat cemburu jikalau pacarku dikagumi oleh sembarang lelaki. Dari kekaguman itu akan beranjak menuju hubungan yang serius. Dari hubungan serius akan melahirkan seorang bayi manusia. Mengerikan bukan? Aku ingin menjaga pacarku dari lelaki bersyahwat bajingan. Pacarku harus tetap suci dan bersih. Pacarku ini adalah seorang Indonesia tulen. Tidak ada darah luar negeri. Sudah begitu saja. Kalian pasti bisa membayangkan bagaimana rupa pacarku. Bayangkan saja wanita-wanita Indonesia. Persis. Tidak ada yang beda.

Kalian juga tidak perlu tahu nama pacarku. Nama pacarku terlalu indah untuk kalian ketahui. Hanya dengan mengetahui namanya saja, kalian bisa terjangkit virus cinta yang tak terbalaskan. Kalian akan Menyusun strategi untuk mengambil hati pacarku. Kalian akan mengerahkan sekuat tenaga untuk mencuri pacarku ketika ia sedang menulis puisi di kamar mandi. Dan yang paling mengerikan, jikalau kalian gagal, kalian akan berpikir untuk menghabisi nyawa kalian sendiri menggunakan samurai yang terpampang di dinding ruang tamu rumahku. Pasti kalian belum ingin mati cepat, kan? Aku tahu kalian masih ingin menikmati masa muda kalian yang bergelimang harta. Muda foya-foya, tua menjadi anggota DPR, mati dikuburkan di San Diego Hills. Itulah mimpi kalian. Tetaplah menjaga mimpi mulia kalian. Jangan mengenal cinta sebelum mimpi terwujud. Apalagi mencintai pacarku. Sebuah keputusan yang salah.

Satu hal yang wajib kalian ketahui tentang pacarku ialah: hobi. Selain hobi membuat puisi cinta, ia hobi dalam bergaul. Semua kalangan ia ajak berbicara. Tak peduli kasta, ras, ataupun kuantitas harta yang dimiliki seseorang. Pacarku selalu merasa nyaman dekat-dekat dengan manusia lain. Sehari saja ia tidak berbincang-bincang, ia akan terserang penyakit. Semacam kecanduan terhadap gaul. Teman-teman ia terlampau banyak. Dari segala penjuru Indonesia pasti terdapat manusia yang ia ketahui namanya. Pacarku tidak takut dalam memulai pembicaraan dengan orang asing. Sedangkan aku takut sekali dalam melemparkan sebuah kata sekalipun kepada orang asing. Aku takut salah berucap yang berujung menyakiti hati seorang asing. Orang tuaku sudah kadung menanamkan sifat pemalu dalam diriku. Awas terhadap orang asing. Tidak boleh mempercayai dengan cepat orang asing. Mau bagus tampangnya, ataupun jelek, sekalipun jangan mempercayai orang asing. Pacarku sempat menegur aku. Menurutnya, yang pantas tidak dipercayai ialah teman sejati. Teman sejati adalah omong kosong belaka. Bentuk kesejatian hanyalah milik tuhan. Teman yang dianggap sejati pasti akan mencicipi maut. Kalau kamu memiliki teman “sejati” sedikit dan seluruh teman kita mati, keluarga kita berkalang tanah, tidak memiliki relasi yang luas dan memadai, lantas siapa yang akan kamu mintai pertolongan? Pasti kita akan menjawab tuhan, tetapi hanya berdoa mengharap pertolongan tuhan tanpa usaha adalah nol besar. Manusia ialah perantara pertolongan tuhan bagi kita. Bergaul itu perlu. Bergaul dengan siapa saja. Bahkan, jangan segan untuk bergaul dengan pengedar narkoba, mucikari, pemabuk, pelacur, pembunuh, pecandu narkoba, pencuri, dan koruptor. Dari mereka kita belajar agar tidak diperdaya oleh tipu muslihat yang mereka lakukan. Kita bisa mempelajari bagaimana mereka mengedarkan narkoba, jenis-jenis narkoba, cara membunuh, berhubungan seks liar, ataupun menggerogoti uang masyarakat. Jangan menjadi manusia yang naif, lugu, dan tolol. Ilmu pengetahuan tersebar seantero bumi. Terkadang menyangkut di tempat menjijikan.

Nasehat pacarku selalu kujadikan prinsip dalam kehidupan. Pergaulan dapat dimanfaatkan untuk meraup kesenangan yang kita inginkan. Hidup akan terasa lebih ringan ketika kita mempunyai teman yang banyak. Jangan terlalu selektif dalam berteman. Jika memang orang itu jahat, maka tinggalkan. Jika orang itu baik, maka tetap berada di sisinya. Kita tidak akan pernah tahu sifat manusia, sebelum kita menyelaminya lebih dalam dirinya. Hidup sangat sederhana, kita yang merangkainya menjadi ruwet. Dan terkadang, kita terjebak dalam keruwetan yang telah kita rangkai. Maka dari itu, aku tidak pernah melarang pacarku untuk bergaul. Sebatas bergaul. Tidak sampai selingkuh. Pacarku pun tampaknya tidak berminat untuk melakukan perselingkuhan. Ia sudah nyaman denganku. Walaupun aku memaksanya untuk menulis beribu-ribu puisi cinta.

Bermesraan melalui puisi itu menyenangkan. Kata-kata romantis yang sudah menumpuk dalam benak sudah seharusnya dikeluarkan. Jangan menunggu hingga basi. Kami sudah melakukan teknik bermesraan yang menyenangkan ini selama 3 tahun lamanya. Insting sastrawan kami sudah tajam. Kami sudah lihai dalam bermain kata. Dalam berkomunikasi pun, kami menggunakan bahasa sastrawi yang indah. Yang belum disederhanakan dan memiliki makna yang luas. Tulisanku ini sudah aku sederhanakan sedemikan rupa agar kalian mengerti jalan ceritaku. Teman-teman pacarku iri ia memiliki pacar sehebat aku. Teman-temannya menjuluki kami sebagai “pasangan pujangga”. Kami ucapkan terima kasih. Memang kami pujangga. Tetapi teman-teman pacarku lupa menambahkan dua kata. Apa gerangan? Ya, kedua kata itu ialah: kamar mandi. Seharusnya kami dijuluki sebagai “pasangan pujangga kamar mandi”. Jasa kamar mandi wajib dikenang dan disematkan pada julukan kami. Tidak ada kamar mandi, tidak ada puisi yang tercipta.

Kami tidak pernah menulis puisi dalam kamar mandi yang sama. Terlalu berbahaya. Kami masih terbilang cukup muda untuk melakukan pergumulan. Pacarku juga belum cukup mental jikalau memang ia mengandung bayi manusia. Kami masih takut akan ancaman siksa neraka. Kami hanya ingin bergumul ketika ritus pernikahan sudah diselenggarakan. Selain siksa neraka, siksaan cibiran manusia juga turut menjadi alasan mengapa aku dan pacarku tidak melakukan hubungan kelamin. Dua siksaan yang mengerikan. Ada saja setan yang berusaha membujuk kami untuk bersama-sama menulis puisi dalam satu kamar mandi. Tetapi bujukan setan itu terlalu lemah. Cinta dan doa yang menghentikan bujuk rayu setan. Setan adalah makhluk penuh dengan sifat iri. Setan tidak bisa menulis puisi. Setan hanya bisa menggoda. Bahasa godaan yang ia pakai sungguh tidak berkelas. Jikalau ia menulis godaan itu dan berusaha menyerupai sebuah puisi, aku yakin, ketika seorang kakek dan nenek mengadakan perlombaan puisi yang ditujukkan kepada seluruh anggota keluarga besarnya, setan tidak akan memenangkan perlombaan tersebut. Sangat jelek sekali puisi itu.

Selain puisi, aku dan pacarku berencana ingin menciptakan naskah sandiwara tentang pemuda dan pemudi Indonesia. Dalam naskah tersebut kami akan menceritakan bagaimana problematika menjadi pemuda-pemudi di negeri yang manusianya tergila-gila akan kekuasaan dan keeksistensian. Kedua hal tersebut sudah dijadikan selayaknya berhala modern. Diagung-agungkan dan dijadikan sebuah tujuan utama. Beragam cara dilakukan. Dari mulai menyuap warga desa, mendirikan baliho, membual akan membuat kehidupan masyarakat miskin menjadi lebih berarti, membebaskan negara dari korupsi, teroris, dan perusuh. Setiap pengejar kekuasaan pasti memuntahkan janji-janji yang sama. Tidak kreatif dan inovatif. Mental plagiat. Sudah barang tentu pada saat mereka sekolah, hobi mereka adalah berbuat curang ketika ujian. Teman-teman mereka sebenarnya tahu bahwa mereka sedang melakukan perbuatan dosa, tetapi karena anak-anak negeri ini sudah didoktrin bahwasannya jika melaporkan tindakan keji kepada pihak yang berwajib, pasti akan mendapatkan penderitaan batin. Para pelapor akan diberi tekanan mental yang jahat. Dibuat lemah jiwa ksatrianya. Lebih baik bungkam daripada linu-linu pada kewarasan. Lebih baik menikmati manusia-manusia bajingan berlaku onar daripada mati saat hidup. Aku geram hidup di negeri yang tak aman bagi manusia yang terpuji lagi berbudi luhur. Melelahkan.

Para pengkritik tajam pemimpin pun pasti tidak akan disayang oleh negara. Mereka dapat diserang di dua dunia yang berbeda. Saat di dunia maya akun mereka akan diblokir tanpa peringatan. Identitas mereka diburu. Informasi-informasi mengenai kehidupan pribadi mereka digali hingga dalam. Para polisi cyber dikerahkan untuk melakukan tugas keparat seperti ini. Setelah meraup informasi sebanyak-banyaknya, para pengkritik akan dipanggil oleh aparat (keparat) kepolisian untuk dimintai keterangan. Bahkan, ada oknum kepolisian yang langsung menghajar para pengkritik di tempat. Biasanya para pengkritik ini melakukan kritik dalam bentuk kolektif. Atau biasa disebut demo. Lontaran kata-kata kritik pedas tetapi membangun ini membuat marah pemimpin negara. Polisi pun ikut-ikutan marah. Jika mereka tidak marah, mereka tidak bisa memperoleh upah dari pemimpinnya. Kemarahan itu didasarkan atas nafsu. Tidak ada sebab lain yang mendukung terjadinya kemarahan. Marah yang liar. Berkat amarah tersebut, seantero raga para pengkritik menjadi biru lebam dan linu-linu. Kepala mereka memuncratkan darah. Mata mereka dihantam oleh sepatu lars bau. Kekejian yang melanggar hak asasi manusia. Tidak ada empati yang melekat secuil pun di dalam hati polisi. Mereka tidak melayani masyarakat, tetapi melayani pemimpin. Padahal masyarakat yang memberi upah. Tidak tahu diuntung. Keparat.

Aku kerap kali mengkritik pemimpin. Aku sudah mendapatkan luka pada pipi kiriku. Luka sobek akibat seorang polisi meninjuku dengan serampangan. Aku hanya bisa mengaduh. Tidak bisa melawan karena begitu banyak polisi yang mengerubungiku. Syukurlah, aku tidak mati dikeroyok polisi. Karena, saat mereka hendak mengeroyokku, kakiku ditarik oleh salah satu pedagang es buah. Pedagang itu sungguh kuat. Badanku begitu besar. Massa badanku saat itu menyentuh angka 95 kilogram. Berkat otot, bukan lemak. Saat aku berhasil selamat, aku sempat memandangi secara sekejap postur tubuh pedagang es buah tersebut. Badannya berotot. Tinggi dan bertenaga. Aku terkagum-kagum. Sungguh baik pedagang itu. Aku dibopongnya menuju gerobak miliknya. Aku dibaringkan disebelah gerobak. Para polisi mengamuk karena tidak berhasil menyiksa aku. Sasaran selanjutnya ialah pedagang es buah. Sekitar 5 polisi yang juga berotot kini mengubah target sasaran. Mereka berjalan menuju si pedagang. Tidak ada rasa gentar pada diri si pedagang. Ia sudah siap untuk berkelahi mati-matian untuk melindungi aku. Kelima polisi ini berlari kencang dan mengirim serangan brutal kepada si pedagang. Dengan cepat dan cermat si pedagang menghindar dari serangan tersebut. Kini, ia memiliki kesempatan untuk menghajar kelima polisi itu. Ketika kelima polisi itu berhenti sejenak karena merasa bingung mengapa serangannya bisa luput, si pedagang langsung menendang pelir tiga polisi. Tidak semua. Si pedagang memiliki rencana berbeda untuk merubuhkan polisi yang lain. Ketiga polisi itu rubuh tak berdaya. Kedua polisi yang lain merasa ketakutan melihat temannya dibikin layu. Si pedagang mengeluarkan dua pisau buah dan melemparkannya kearah kedua polisi. Ia melemparkannya persis seorang ninja ketika melemparkan shuriken. Kedua pisau itu sukses menancap pada ulu hati kedua polisi. Mereka memekik kecil. Rasa sakit lambat laun menjalar hingga ke ubun-ubun. Mata sudah merabun, tanda nyawa sudah berada di leher. Dalam hitungan menit, mereka mati sempurna. Ketiga polisi yang ditendang pelirnya belum merasakan ajal. Siksaan apa yang cocok bagi mereka bertiga? Mungkin menembaknya saja. Lantas, si pedagang mengambil pistol salah satu polisi. Ia tanpa rasa ngeri menembakkan pelor kearah kaki mereka. Naik perlahan menuju paha. Naik kembali menuju selangkangan. Dan tujuan akhir penembakan adalah pelir. Ketiga polisi itu kompak berteriak. Mereka menggaungkan nama tuhan. Si pedagang membiarkan selama beberapa menit untuk memberikan kesempatan agar mereka dapat menikmati mengucapkan nama tuhan. Karena sudah tidak sabar, si pedagang menarik kembali kedua pisau buah yang sebelumnya menancap pada dua polisi, dan menancapkannya kembali ke mata ketiga polisi yang buah pelirnya pecah. Mereka semua mati. Polisi yang angkuh sudah mati.

Dari kejadian tersebut aku memutuskan untuk berhenti menjadi pengkritik. Aku masih punya harapan yang belum terwujud. Aku ingin menikah dengan pacarku. Aku tidak ingin berlama-lama menjalani hubungan yang penuh batasan ini. Aku ingin memproduksi anak sendiri. Keinginanku itu tidak boleh sampai tidak terwujud hanya karena mengkritik pemimpin. Aku menyerah oleh keadaan. Aku minta maaf teman seperjuanganku. Aku hanya ingin menjalani hidup sebagai seorang sastrawan. Karyaku akan bertemakan cinta. Tidak ada tema kebencian di dalam karyaku.

Untuk kamar mandi, aku ucapkan terima kasih. Engkau telah memberikan pancaran aura kreatif padaku. Tanpamu, aku mungkin sudah dijeruji.

Telepon berdering.

Aku sedang berada dalam kamar mandi. Membuat puisi.

“Kita putus!”, pacarku berteriak

“Mengapa?”

“Karena aku sedang mencintai lelaki yang gemar mengkritik pemimpin.”

 


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button