NasionalOpini

Cabai, Si Kambing Hitam Inflasi

Kita boleh bingung jika cabai dianggap sebagai penyumbang inflasi karena berdasarkan catatan, masyarakat Indonesia hanya mengeluarkan Rp 100 per hari untuk membeli cabai. Jika dijumlahkan, maka secara keseluruhan konsumsi cabai per kapita per orang di Indonesia hanya 0,5 kg per tahun. Lalu bagaimana si merah pedas ini bisa menjadi kambing hitam inflasi di negeri ini?.

Badan Pusat Statistik secara resmi mengumumkan inflasi Juli 2022 sebesar 0,64 persen secara month to month dan 4,94 persen secara year on year. Besaran inflasi Juli 2022 ini melampaui batas inflasi yang telah ditargetkan oleh pemerintah yaitu 3 plus minus 1 persen. Tren kenaikan inflasi terasa selama kurun waktu satu semester 2022 ini, bahkan sejak akhir 2021 yang notabene merupakan tahun kedua aka da Covid-19.

Komponen-komponen komoditas pembentuk inflasi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok inti (core inflation), barang-barang yang diatur harganya oleh pemerintah (administered price inflation), barang-barang yang harganya bergejolak (volatile goods).

Inflasi Juli sebesar 0,64 persen dapat diuraikan menurut andilnya berdasarkan 3 kelompok tersebut yaitu 0,18 persen dari core inflation, 0,21 persen dari administered price inflation, dan 0,25 persen berasal dari volatile goods. Besarnya andil volatile goods atau yang lebih sering dikenal dengan istilah volatile foods memberikan pesan kepada pemerintah bahwa kelompok komoditas ini perlu mendapat penanganan yang tidak sederhana.

Cabai merah berada pada urutan teratas penyumbang inflasi di kelompok ini. Berbekal andil sebesar 0,15 persen, si pedas ini memberikan pengaruh terkereknya inflasi pada Juli. Gangguan suplai aka da akibat pengaruh cuaca ditengarai menjadi penyebab tingginya kenaikan harga cabai merah.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menampilkan data curah hujan yang tinggi dan sangat tinggi (>150 mm/dasarian) terjadi di sentra-sentra produksi cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah seperti di Cianjur, Garut, Brebes, dan Banjarnegara.

Ada apa dengan cabai?
Dalam Serat Centhini, keberadaan sambal mulai diketahui sejak tahun 1814. Ini berarti sambal sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dulu. Indonesia dikenal kaya akan rempah-rempah, tak terkecuali merica dan cabai. Tak heran aka lidah orang Indonesia sudah terbiasa dengan cita rasa kuliner yang pedas.
Ada kurang lebih 322 jenis sambal di Indonesia. Jumlah sebanyak ini bisa jadi indikasi betapa orang Indonesia begitu menyukai makanan pedas. Saat kecil, kita kerap melihat orangtua menyantap makanan pedas dengan lahap. Maka, secara psikologis kita merasa bahwa makan makanan pedas adalah hal yang wajar dan biasa. Rasa pedas dari cabai memberikan stimulus ke dalam tubuh untuk melepaskan aka da aka da . Tak heran jika setelah makan, muncul perasaan senang dan aka d hilang. Menikmati makanan pedas ternyata punya dampak baik bagi aka da mulai dari melegakan hidung tersumbat, meredakan sakit kepala, menurunkan kadar lemak, dan sebagainya.

Membaca itu, maka kita makin mafhum mengapa orang Indonesia suka cabai namun apakah relate jika lalu pemerintah menggelorakan upaya tanam cabai serentak di seluruh Indonesia sebagai salah satu upaya menjadikan cabai bukan lagi sebagai komoditas penyumbang inflasi?.
Seperti ramai diberitakan di media saat ini pemerintah pusat maupun provinsi dan kabupaten kota bersemangat mengampanyekan tanam cabai di pekarangan. Dilansir dari Tempo.co Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan tingginya angka inflasi Indonesia disebabkan oleh kenaikan harga kelompok makanan, khususnya harga cabai merah, bawang merah, dan cabai rawit. Padahal, kata dia, inflasi pokok Indonesia hanya 2,84 persen. “Kita ini kampungan juga sebenernya. Kenapa jadi inflasi jadi 4,94 ya itu karena harga bawang merah, cabai rawit, cabai merah, itu yang mempengaruhi inflasi kita ini,” kata Luhut di Universitas Hasanuddin, Makassar, seperti dikutip dalam video YouTube pada Jumat, 19 Agustus 2022. Karena itu, ia telah berbicara pada Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait arahan seluruh desa menanam cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah. Supaya inflasi, tuturnya, bisa dikendalikan sekitar empat persen.

Usut punya usut mengapa kok pemerintah seolah yakin sekali Gerakan Tanam Cabai di pekarangan rumah dapat mengendalikan inflasi, ternyata ada harapan jika masyarakat dapat secara mandiri memenuhi kebutuhannya akan cabai maka pasar tak perlu panik jika cabai langka karena cuaca buruk misalnya, atau sistem distribusi yang tidak aka d karena berbagai faktor.
Berdasarkan survei yang dilakukan Pusat Kajian Sosial Budaya Ekonomi (PKBE) Universitas Negeri Padang (UNP) mengungkap 90 % masyarakat memandang cabai sebagai salah satu bumbu masak utama penting yang harus selalu tersedia. Namun tak terpikir rasanya jika ternyata kesukaan masyarakat Indonesia akan rasa pedas ini berdampak signifikan pada kenaikan inflasi.

Menteri Keuangan kita dalam sebuah kesempatan menyampaikan bahwa beberapa komoditas termasuk cabai bisa dikembangkan dan diproduksi secara mandiri di dalam negeri sehingga akan semakin menstabilkan inflasi ke depan terutama dari sisi harga bergejolak.
Gerakan tanam cabai di pekarangan rumah setidaknya tidak akan terlalu membebani petani cabai partai besar yang hasil produksinya lebih banyak diserap oleh industri.

Di tengah cuaca yang tidak menentu, sistem penyimpanan yang belum mumpuni serta proses distribusi yang belum mapan maka pemerintah cukup menaruh perhatian pada rakyatnya dengan menggagas Gerakan Tanam Cabai ini.

Jangan sampai selera makan masyarakat kita terganggu gara-gara tak ada cabai tersedia di rumah. Apalah jadinya rendang tanpa rasa pedas yang cukup, terong belado tanpa warna merah yang tegas, serta lalapan tanpa dicocol sambal merah…Gagal rasanya harapan kita mendapatkan makan siang yang berkeringat.

 

 


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button