Opini

Seperti Lesti Kejora

Siapa yang ingin seperti Lesti Kejora?. Suara merdu, cantik, terkenal, berpendidikan tinggi, kaya raya, suami ganteng, anak lucu, berasal dari keluarga bahagia dan yang lebih keren lagi adalah BERANI.

Dengan segala modal dasar yang dimilikinya, seharusnya memang tak istimewa rasanya jika Lesti juga ternyata berani. Berani melaporkan ketidanyamanan yang dia rasakan dari perlakuan suami gantengnya, apalagi ketidaknyamanan ini sampai melukai fisik yang mengancam keselamatan jiwa.

Kenyataannya, tak banyak perempuan yang seberani Lesti. Padahal, mereka punya modal dasar yang bahkan lebih mumpuni. Lalu, bagaimana nasib perempuan-perempuan korban KDRT yang tak punya modal dasar tadi?. Miskin, kurang berpendidikan, tak ada akses ke orang-orang yang paham hukum. Maka biarkanlah diri mereka teraniaya di rumahnya sendiri. Jika selamat maka patut bersyukur, jika harus mati maka itu adalah takdir.

“Saya melihat sendiri ibu saya dipukuli bapak, Bu. Hampir setiap hari”, salah seorang asisten rumah tangga saya pada suatu sore yang hujan, sambil nonton TV, bercerita. “Saya masih kecil saat itu, lalu pada suatu hari setelah puas menampar, memukul, menendang dan menjambak, bapak pergi meninggalkan ibu saya hingga hari ini”, lanjutnya. “Sampai sekarang, ibu tidak menikah lagi karena tidak ada surat cerai, jadi beliau membesarkan saya dan kakak sendirian selama puluhan tahun”, paparnya tegar, nyaris tak ada tanda-tanda kesedihan, mungkin karena peristiwa itu sudah terlalu lama terjadi.

Baca juga Kegagapan Generasi X Menghadapi Generasi Z

Oktober diperingati sebagai Domestic Violance Awareness Month (DVAM) alias bulan kesadaran KDRT. Momen ini dibuat dengan harapan menjadi pengingat agar kita semakin menyadari pentingnya kepedulian pada tindak kekerasan yang juga lazim disebut kekerasan domestik ini. DVAM berupaya meningkatkan kesadaran kolektif kita pada praktik negatif ini, baik kepada perempuan maupun laki-laki karena selama ini, korban KDRT sering kesulitan mendapatkan perlindungan maupun dukungan untuk mengakhiri penderitaannya.

Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) No. 23 tahun 2004 membuat jengah sebagian orang, karena dianggap menyeret persoalan privat ke ranah publik. Tidak dapat dimungkiri, bahwa masalah domestic violence bagi sebagian masyarakat kita masih dipandang sebagai “tabu” internal keluarga, yang karenanya tidak layak diungkap ke muka umum.

Maka tidak heran, meski UU ini sudah berlaku lebih dari 10 (sepuluh) tahun, kasus yang secara resmi ditangani masih bisa dihitung jari. Terlepas dari perdebatan yang melingkupinya, UU ini diharapkan menjadi alat yang mampu menghentikan budaya kekerasan yang ada di masyarakat, justru dari akar agen pengubah kebudayaan, yaitu keluarga.

Baca juga Restorative Justice dalam Kasus KDRT di Kasus Lessty Kejora Biasa Terjadi

Perempuan sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga, diharapkan mampu mengembangkan nilai-nilai kasih sayang, kesetaraan dan kesederajatan, kepedulian satu sama lain, sehingga mampu menyingkirkan pola-pola tindakan agresif dari anak-anak dan remaja. Karena pada saatnya, tradisi kekerasan yang diwarisi dari pola pengasuhan dalam keluarga ini, akan berhadapan dengan persoalan hukum negara jika tetap dipelihara.

Rumah, yang dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang paling aman dan nyaman untuk ditempati, tempat bermuaranya seluruh petualangan dan kelelahan, tempat di mana orang bersikap paling natural, tidak dibuat-buat, tidak harus jaga image, kini malah bisa jadi tempat paling tidak aman. Secara umum masyarakat beranggapan, bahwa tempat yang berbahaya adalah di luar rumah, maka ketika rumah dituding sebagai tempat berlangsungnya kekerasan, semua orang memberikan respons yang beragam.

KDRT terjadi dalam lingkup personal yang penuh muatan relasi emosi, sehingga penyelesaianya tidak segampang kasus-kasus kriminal dalam konteks publik. Suara perempuan atau korban kekerasan domestik cenderung membisu. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan tindakan KDRT seperti fenomena gunung es, lebih banyak kasus yang terpendam ketimbang yang terlihat.

Balik lagi ke Lesti dan suami yang sejak awal menjadi sorotan media massa karena aksi mereka yang penuh kemesraan, pose-pose mereka yang ‘so sweet’, penggalan-penggalan kisah mereka yang terasa penuh kasih sayang, cinta, dan penghormatan, sunggu sukses bikin iri banyak netizen. Tanpa ragu pasangan terebut mengekspresikan rasa bahagianya di depan kamera yang mereka sadari dipelototi ratusan juta mata.

Tidak banyak yang tahu dengan istilah love bombing, padahal perilaku ini bisa merujuk ke tindakan yang manipulatif.  Dilansir Wellandgood.com, love bombing dapat didefinisikan sebagai perilaku seseorang narsistik yang menggunakan taktik manipulatif dengan memberikan perhatian, cinta, waktu, bahkan janji-janji secara berlebihan kepada pasangannya. Hal ini biasanya dialami ketika masa-masa pengenalan atau PDKT. Dalam kasus KDRT, salah satu pintu masuknya adalah perilaku love bombing yang perlu diwaspadai saat orang menjalani hubungan dengan pasangan.

Bisa jadi potensi KDRT memang sudah diperlihatkan pasangan tersebut sejak awal kemunculan mereka, hanya kita saja yang tak memahaminya. Hal ini menjadi pengingat juga jika pasangan, adik, teman, tetangga kita menunjukkan tanda-tanda love bombing. Tak ada salahnya kita peringatkan, semoga berhasil.

Alur KDRT biasanya diawali dari fase romantis, saling tertarik, mengembangkan harapan-harapan positif. Lalu terjadi konflik, karena tuntutan-tuntutan tertentu tidak terpenuhi. Terjadilah tindakan kekerasan. Setelah itu cooling down, muncul rasa bersalah, dan saling memaafkan. Kemudian masuk lagi pada fase “bulan madu” dan fase romantis, demikian terus berulang-ulang hingga kekerasan seolah menjadi lumrah, dan diterima sebagai kebiasaan yang dapat dimaafkan.

Sebagai bekal, maka kita harus tahu bentuk-bentuk kekerasan sehingga kita dapat segera identifikasi jika hal ini terjadi pada siapapun di sekitar kita. Dalam Luhulima, Achie ed. 2000, kekerasan fisik contohnya adalah memukul, menampar, mencekik dan sebagainya. Kekerasan psikologis misalnya  berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, melecehkan dan sebagainya.

Selanjutnya kekerasan seksual, seperti melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, mencium, memaksa hubungan seks tanpa  persetujuan korban dan sebagainya.

Kekerasan berdimensi finansial, seperti mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhuan kebutuhan finansial dan sebagainya.

Kekerasan spiritual, seperti merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban mempraktikan ritual keyakinan tertentu.

Lalu, apa yang bisa dilakukan jika mengalami KDRT?, bagaimana cara yang tetap aman jika ingin melapor?, apakah laporan kita segera ditindaklanjuti dengan tetap memberikan rasa aman bagi pelapor?

Dilansir dari Kompas.com, lapor polisi adalah salah satu yang bisa dilakukan, khususnya dalam bentuk kekerasan fisik. Pelapor akan diarahkan untuk melakukan visum et repertum yang dilakukan oleh orang yang berkompeten. Di Indonesia, hasil visum dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat yang diajukan ke pengadilan dalam proses pembuktian. Apabila laporan dilakukan ke Kepolisian Resor (Polres) setempat, maka korban akan dirujuk ke bagian unit Perempuan dan Anak. Pelapor akan dimintai keterangannya sebagai saksi. Jika ada, korban dianjurkan menyertakan bukti-bukti untuk memperkuat laporan. Bila polisi merasa sudah ada minimal dua alat bukti maka pihak terlapor dapat ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. Jangan lupa catat siapa penyidik yang menangani kasus tersebut. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pelapor mengikuti perkembangan penanganan kasus.

Selain itu, kita bisa melapor via daring ke SAPA 129. Layanan yang digagas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ini dapat diakses melalui hotline 021-129 atau whatsapp 08111-129-129 yang mana terdiri dari enam jenis layanan. Layanan tersebut adalah yaitu pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, pelayanan akses penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban.

Selain melalui telepon dan whatsapp, Kementerian PPPA juga menerima laporan tindak kekerasan melalui media lain seperti forum online, Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) Lapor, surat, hingga pengaduan langsung termasuk melaporkan ke alamat email [email protected] atau media sosial dengan mengetuk direct message ke Twitter, Facebook, atau Instagram. Laporan yang masuk akan diproses selama 1×24 jam atau mungkin lebih cepat.

Laporan pengaduan yang diterima akan dilanjutkan pada Forum Pengaduan Layanan sesuai domisili korban untuk diberikan pendampingan. Siapkan bukti adanya KDRT untuk melancarkan pelaporan ini.

Sudah waktunya pemerintah bersama-sama masyarakat mencanangkan Zero tolerance terhadap kekerasan. Artinya tidak ada toleransi sekecil apapun terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, dan negara.

Siapapun kita yang melihat potensi di sekitar lingkungan kita semacam rumah tangga Lesti, mari sigap dan memberikan bantuan semampunya saat KDRT terjadi karena  Kita tahu tak semua orang bisa berani seperti Lesti.

** Tulisan ini dibuat sebelum Lesti Kejora mencabut laporannya.


Discover more from banteninside

Subscribe to get the latest posts to your email.

Leave a Reply

Back to top button