Opini

Politisi Busuk Masih Ada

Oleh Eka Satialaksmana

Di dalam terminologi politik, ada istilah politisi busuk. Istilah ini sangat popular dilekatkan pada seseorang yang tindakan politiknya di luar batas-batas kepatutan. Batas kepatutan itu meliputi hukum, moralitas, etika, dan kepedulian terhadap rakyat sebagai konstituennya.

Labeling politisi busuk biasanya dilekatkan pada seorang anggota legislatif yang kelakuannya tidak sesuai dengan harapan-harapan publik. Sedangkan bagi kader-kader partai politik yang belum duduk di kursi wakil rakyat masih dianggap “bersih” dari dosa-dosa politik. Hal ini sangat tidak adil, karena setiap calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh partai politik baik yang sudah menjabat sebagai anggota dewan ataupun belum, masing-masing mempunyai latar belakang – rekam jejak (track record) tersendiri.

Berdasarkan rekam jejak itulah masyarakat mestinya dapat menilai apakah seorang politisi memiliki catatan baik atau buruk. Sayangnya catatan itu sulit didapat karena tidak ada institusi atau lembaga milik negara ataupun swadaya yang serius menangani masalah ini. Lembaga legislatif di berbagai tingkatan sendiri tidak pernah menerbitkan rapor penilaian kepada unsur pimpinan dan anggotanya. Bahkan untuk mengetahui siapa-siapa anggota dewan yang rajin hadir dan yang rajin bolos, masyarakat tidak dapat mengaksesnya, baik secara langsung maupun melalui website yang telah disediakan.

Lihat juga Awas, Saat Pemungutan Suara Pemilu 2024 Gunakan Formulir C6 Orang Lain, Bisa Kena Pidana

Politisi busuk bukan cuma mereka yang tersangkut perkara tindak pidana korupsi atau yang sudah terbukti menyandang gelar baru sebagai koruptor pasca palu hakim diketuk di persidangan. Mereka yang bukan koruptor, tetapi malas masuk kantor apalagi sering bolos sidang harus juga dikatagorikan politisi busuk. Sebab definisi politisi busuk itu sangat luas yaitu terkait semua hal yang tidak diingini oleh konstituen kepada seorang wakilnya yang telah dipilih dalam Pemilu.

Rakyat sebagai pemilih tentu punya harapan bahwa seorang wakil rakyat bisa mewakili dirinya, menampung aspirasinya, dan merealisasikan apa saja yang bisa dirasakan bermanfaat, serta mewujudkan janji-janji mereka. Ironisnya, banyak politisi yang berhasil meraih kursi legislatif nyatanya sering kali melupakan itu semua. Mereka seolah lepas dari tanggung jawab sebagai wakil rakyat dan hanya sibuk mebangun financial diri dan keluarganya serta partai politik yang mengusungnya.

Lebih tragis lagi, dalam setiap Pemilu digelar lima tahunan, rakyat lupa mencatat prestasi para legislator yang dulu pernah mereka pilih. Bahkan politisi busuk bisa “membeli” suara rakyat dengan harta yang dikumpulkan saat menduduki jawabatan di parlemen. Menyedihkan memang, inilah cerminan poltik negeri sendiri yang kerap terjadi, karena sudah terkondisi sedemikian rupa karena menyoal politisi busuk sama dengan menyoal semua aspek negeri ini. Alasannya bahwa kekuasaan politik di negeri ini masih eksis  menjadi panglima, sedangkan hukum hanya mengekor menjadi prajuritnya.

Nah, semuanya kembali pada kita. Pemungutan suara Pemilu 2024 sebentar lagi digelar. Masoh ada cuukp waktu untuk kita melakukan penelusuran siapa-siapa yang bisa kita titipi mandate dan amanat, serta siapa-siapa yang pernah kita titipi suara, tapi malah bungkam saat kita butuh suara mereka. Kenali calonnya, ingat-ingat pola lakunya, evaluasi segala tindakannya selama memegang amanat, lalu kita tetapkan pilihan kita. (*)

Penulis adalah Dewan Pembina Jaringan Rakyat untuk Demokrasi dan Pemilu (JRDP)

Leave a Reply

Back to top button
Home
Search
Daftar
Laporkan
Stats